Persoalannya adalah rasa, Sayang. Kau terlalu
mengandalkan akalmu. Sementara akal itu cenderung peragu. Tidakkah kau ingat
kata Descartes kalau kita berpikir kita harus meragukan semuanya. Kalau berpikir
awalnya adalah keraguan, tidakkah ujungnya nanti akan sama? Kalau berpikir
melahirkan kepastian, bukankah ia melanggar dirinya sendiri yang ada karena ragu?
Kita butuh kepastian untuk hidup. Tanpa kepastian mustahil kau dapat menjalani
hidupmu. Aku tidak dapat membayangkan jika kau hidup diliputi dengan keraguan semua
hal: waktu, tempat, yang kau lihat, yang kau dengar, yang kau lakukan, bahkan
dirimu sendiri. Mampukah? Dan, adakah orang seperti itu? Kurasa ia bisa gila.
Kau tinggal menyerahkan pada rasamu sekarang. Hiduplah
dengan rasa. Sebab rasa melahirkan kebenaran dan tahu di mana letak kebahagiaan.
Rasalah, Sayang, yang pada awalnya menangkap kebenaran. Tidakkah kegelisahan
yang dialami Descartes tentang kebenaran itu juga diawali oleh rasa? Semacam kegelisahan mengenai
apa yang ada? Orang yang peka rasa itu lebih mampu membedakan antara kebenaran
sejati dengan kebenaran yang dibuat-buat rasio. Juga antara kesenangan
sesaat dengan kebahagiaan yang abadi. Rasa langsung menyentuh obyek, tapi rasio
hanya berputar-putar di sekelilingnya sembari meragukan yang ia pikirkan.
0 komentar:
Posting Komentar