Tafsir Ilmi


Al-Qur’an merupakan kitab yang berfungsi sebagai petunjuk (hidayah) bagi umat manusia guna memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. [1] Kedudukannya sangat istimewa bagi umat Islam. Ia menjadi referensi utama dalam pengambilan hukum dan masalah ibadah. Turun di Arab, kemudian berhasil membentuk suatu peradaban baru bagi bangsa Arab. Turunnya al-Qur’an secara berangsur-angsur dengan menggunakan bahasa Arab, merupakan bukti bahwa telah terjadi hubungan dialektika antara teks dengan realitas masyarakat. Dari proses dialog dengan realitas inilah, al-Qur’an kemudian menjadi hidup dan dapat membawa perubahan hidup bagi umat manusia. Dapat dikatakan, bahwa perubahan bangsa Arab bukan semata-mata karena teks semata, melainkan karena adanya interaksi antara teks dengan realitas.

Usaha mendialogkan al-Qur’an dengan realitas terus dilakukan umat Islam dengan melahirkan karya tafsir. Salah satunya adalah lahirnya tafsir ilmi.[2] Mengkaji tafsir ilmi sangat menarik. Dikarenakan ayat-ayat al-Qur’an dijelaskan dengan temuan-temuan modern, sehingga ketika kebenaran dibuktikan dengan temuan ilmiah kemantapan hati akan kebenaran Islam kian menebal. Akan tetapi, masalahnya, temuan sains tidak pernah final dan terus berkembang, sementara ikhbar al-Qur’an abadi. Jika temuan tersebut kemudian jadi lemah, bagaimana konsekuensinya terhadap al-Qur’an? 

Terkait masalah di atas, makalah ini akan mencoba berusaha mengkaji lebih jauh tentang tafsir al-Ilmi; mulai dari pengertian, kemunculan, arah tujuan, sampai kepada perdebatan dan aspek positif dan negatifnya.

Pengertian Tafsir Ilmi
Tafsir ilmi, dari segi bahasa, terdiri dari dua kata: tafsir dan ilmi. Kata tafsir merupakan bentuk isim masdar (kata benda abstrak) dari fassara-yufassira-tafsiran yang berarti pemahaman, penjelasan dan perincian. Tafsir juga dapat berarti menyingkap makna atau pengertian yang tersembunyi. [3] Dari makna kata ini, maka tafsir, secara istilah, dapat diartikan sebagai: pemahaman manusia (baca: mufassir) terhadap al-Qur’an yang dilakukan dengan menggunakan metode dan pendekatan tertentu yang bertujuan menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an.[4] Kala seseorang menafsirkan al-Qur’an melalui pendekatan tertentu, misalnya filsafat, maka akan lahir produk penafsiran yang bercorak filsafat. Kala seseorang menafsirkan al-Qur’an dengan menggunakan pendekatan sufistik, maka akan lahir tafsir yang bercorak sufi. Nah, tafsir ilmi, adalah tafsir yang bercorak ilmiah. Pendekatannya memakai perangkat teori-teori ilmu pengetahuan. Adapun yang disebut dengan ilmu di sini, adalah ilmu-ilmu yang bersifat empiris, terbagi menjadi dua macam: ilmu alam seperti fisika, kimia, biologi dan ilmu-ilmu humaniora seperti sosiologi dan psikologi. [5] Jadi tafsir ilmi dapat diartikan sebagai sebuah corak penafsiran al-Qur’an yang menggunakan pendekatan teori-teori ilmiah dengan tujuan untuk menggali teori-teori ilmiah dan pemikiran-pemikiran filosofis dari teks ayat-ayat al-Qur’an.[6]

Adapun asumsi tafsir ilmi berangkat dari suatu anggapan bahwa kitab suci al-Qur’an tidak bertentangan dengan akal manusia dan mengandung berbagai macam ilmu, baik yang terkait dengan ilmu agama, maupun ilmu pengetahuan umum, yang sudah ditemukan maupun yang sudah ditemukan. Al-Qur’an tidak ditujukan untuk masyarakat Arab di masa Nabi Muhammad saja, akan tetapi mencakup seluruh manusia setelahnya, termasuk era modern-kontemporer yang meniscayakan adanya perkembangan ilmu pengetahuan. Artinya, al-Qur’an memungkinkan untuk dipahami dengan perspektif sains, agar ia tetap shalih likulli zaman wa makan (selaras dengan perkembangan zaman dan waktu).

Contoh,  Q.S al-Baqarah [02]: 61 yang bercerita tentang kaum Nabi Musa yang tidak puas dengan makan satu jenis makanan di pegunungan.

Dan (ingatlah), ketika kamu berkata: “Hai Musa, kami tidak bisa sabar (tahan) dengan satu macam makanan saja. Sebab itu mohonkanlah untuk kami kepada Tuhanmu, agar Dia mengeluarkan bagi kami dari apa yang ditumbuhkan bumi, yaitu sayur-mayurnya, ketimunnya, bawang putihnya, kacang adasnya, dan bawang merahnya”. Musa berkata: “Maukah kamu mengambil yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik?

Thantowi Jauhari (w. 1940 M) mengomentari ayat ini dengan mengambil teori ilmiah Eropa, yakni bahwa model kehidupan Baduwi di pedesaan atau pegunungan, yang biasanya orang mengkonsumsi makanan manna wa salwa (jenis makanan yang tanpa efek samping) dengan kondisi udara yang bersih, jauh lebih baik daripada model kehidupan di perkotaan yang biasanya orang suka mengkonsumsi makanan siap saji, daging-daging, dan berbagai ragam makanan lainnya, ditambah lagi polusi udara yang sangat membahayakan kesehatan.[7]

Contoh lain dapat ditemukan dalam penafsiran M. Abduh terhadap surat al-Fil [105]: 3-4 yang menafsirkan kata thayran ababil (burung Ababil) dengan mikroba dan kata al-hijarah (batu) dengan kuman penyakit.[8] Atau, penafsiran  Abdul al-Razq Nawfal pada Q.S. al-A’raf [07]: 189 hua alldzi khalaqakum min al-nafsi al-wahidah waja’ala minha zawjaha, ia menafsirkan kata nafsu al-wahidah (diri yang satu) dengan proton dan zawjaha dengan pasangannya elektron, dan masing-masing keduanya membentuk unsur atom.[9]

Sejarah Kemunculannya
Secara historis, kecenderungan tafsir ilmi muncul sejak masa dinasti Abbasyiah, khususnya pada masa pemerintahan Khalifah al-Ma’mun (w. 853 M).[10] Kala itu, dunia Islam berada pada puncak peradaban dunia. Ilmu pengetahuan dari luar diadopsi lewat penerjemahan buku. Semua kegiatan ini mendapat dukungan dan dorongan dari pemerintah saat itu. Karya-karya klasik dari peradaban pra-Islam seperti Yunani, Persia, dan India dipelajari. Dari berbagai kajian terhadap keilmuan luar itu, pengetahuan dari dalam Islam sendiri seperti ilmu kalam, fikih, ushul fiqih dan dari luar seperti filsafat, fisika, kedokteran menjadi berkembang. Kajian-kajian terhadap berbagai macam bidang ilmu digalakkan. Diskusi-diskusi keilmuan pun ramai digelar. Madzhab-madzhab pemikiranmu bermunculan. Mereka, dalam rangka memperkuat argumennya, menggalinya dari ayat-ayat al-Qur’an. Lahirlah berbagai corak penafsiran seperti tafsir hukum, falsafi, sufi, teologi tertentu yang mendukung pemikiran mereka. Kecenderungan tafsir ilmi juga demikian halnya, terjadi karena adanya upaya untuk melakukan kompromi antara ajaran Islam (baca al-Qur’an) dengan perkembangan peradaban dunia luar Islam.[11] Pada masa ini lahir kitab tafsir ilmi Mafatih al-Gaib karya Fakhrududi al-Razi (w. 1209 M).

Kemudian perkembangan tafsir ilmi kian marak pada abad modern. Kebalikan dari abad pertengahan, pada masa modern, umat Islam dikejutkan oleh kenyataan bahwa mereka sedang berada dalam keterbelakangan. Kondisi fisik dan keilmuannya mereka memprihatinkan. Sementara itu Eropa mengalami kemajuan dalam hal ilmu pengetahuan dan teknologi. Banyak dari bangsa Eropa yang berdatangan ke belahan Timur, menjajah dengan bantuan sains dan teknologinya. Untuk mengatasi ketertinggalan itu, segolongan pemikir Islam mulai mengadakan pembaharuan, salah satunya adalah dengan mengadopsi ilmu pengetahuan luar ke dalam ajaran Islam. Kemajuan Barat bermula dari kemenangan para ilmuan terhadap agama Kristen, di mana temuan-temuan ilmiah bertentangan dengan kebenaran al-Kitab. Kemenangan ini kemudian dijadikan alasan oleh Barat untuk menunjukkan bahwa kemunduran Islam adalah juga disebabkan oleh kitab suci al-Qur’an. Maka, dalam menanggapi hal tersebut, umat Islam berupaya membuktikan kitab al-Qur’an tidak bertentangan dengan temuan-temuan sains dan kemajuan, salah satunya adalah lewat tafsir ilmi.[12] Pada masa ini, kitab-kitab tafsir yang lahir antara lain: Kasyf al-Asrar al-Nuraniyyah al-Qur’aniyyah karya Muhammad bin Ahmad Iskandari,  Mahasinu al-Ta’wil karya Jamaluddin Qasimi, Al-Islam wa al-Tibb  karya Dr. Abdul Aziz Isma’il, Jawahir fi Tafsir al-Qur’an al-Karim karya Thantawi Jawhari.

Kemunculan tafsir ilmi, bila dilihat dari sejarahnya di atas, dilatarbelakangi beberapa faktor yang secara umum dapat dibagi menjadi dua: pertama faktor internal yakni faktor-faktor yang berada dalam teks ayat-ayat al-Qur’an sendiri. Meliputi: adanya ayat-ayat al-Qur’an yang tidak sedikit memuat ayat-ayat kauniah, alam semesta, di mana hal ini mendorong para mufassir untuk mendalaminya lebih jauh dengan menggunakan perangkat ilmu pengetahuan, seperti Q.S. al-A’raf [07]: 54, Yasin [36]: 80, an-Naml [27]: 88 dan lain-lain. Disamping itu juga ada ayat-ayat al-Qur’an yang menganjurkan manusia, baik secara eksplisit maupun implisit, untuk memperhatikan fenomena alam, di samping juga keinginan untuk mengetahui dimensi kemukjizatan al-Qur’a, seperti dalam Q.S. Fushshilat [41]: 53,  Q.S. al-Ghasysyiah [88]: 17-20 atau al-Anbiya’ [21]: 30. Selain itu adanya pernyataan al-Qur’an yang disinyalir oleh sebagian mufassir menunjukkan bahwa al-Qur’an merupakan kitab yang memuat segala macam ilmu pengetahuan, seperti Q.S. An-Nahl [16]: 89 dan al-An’am [06]: 38.

Kedua, faktor eksternal yakni faktor-faktor di luar teks al-Qur’an yang berkaitan dengan adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan sains modern. Meliputi: kondisi sosial dan budaya umat Islam yang mulai bersentuhan dengan perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan di dunia luar. Kondisi subjektif penafsir sendiri yang mempunyai disiplin keilmuan di bidang sains. Pengaruh pertentangan Gereja dengan kalangan ilmuan di Eropa yang pada akhirnya dimenangkan oleh para ilmuah dan jatuhnya otoritas kebenaran agama sebagai pusat kebenaran. Kondisi politik, di mana di abad modern, dunia Islam dijajah bangsa Barat dengan kecanggihan teknologinya, sementara umat Islam tertinggal jauh di belakang, ini mengakibatkan tumbuhnya rasa rendah diri di dunia Islam. Untuk mengatasi hal ini, maka langkah-langkah politis dilakukan agar umat Islam bangkit dari kegelapan, salah satunya mempelajari ilmu pengetahuan, atau dengan mengataskan pengetahuan Barat itu diklaim sudah terkandung dalam al-Qur’an.

Dari berbagai macam faktor tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa ada banyak tujuan dan motif tertentu dari kemunculan tafsir ilmi ditunjukkan oleh para ulama. Adapun semuanya itu dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.   Untuk memahami al-Qur’an secara lebih mendalam, khususnya yang berkaitan dengan ayat-ayat kauniah atau ayat-ayat tentang alam semesta.
2.   Untuk menggali teori-teori sains baru di dalam al-Qur’an.
3.   Untuk menegaskan sikap Islam terhadap ilmu pengetahuan, bahwa tidak ada pertentangan antara kitab suci al-Qur’an dengan sains, bahwa Islam adalah agama yang sejalan dengan akal manusia dan kemajuan.
4.   Untuk membuktikan kemukjizatan al-Qur’an dari sisi keilmiahannya.
5.   Untuk menarik perhatian non-muslim untuk mempelajari lebih jauh tentang Islam bahwa agama Islam sangat apresiatif terhadap ilmu pengetahuan dan kemajuan.
6.   Untuk memperkenalkan penemuan-penemuan baru sains kepada umat Islam, mendorong mereka agar mau tertarik belajar ilmu pengetahuan umum dan mengembangkannya.

Pendapat Para Ulama Tentang Tafsir Ilmi
Perhatian ulama terhadap tafsir ilmi sudah ada sejak lama, dan kian bertamabah hingga kini. Berbagai komentar berdatangan menanggapi tafsir ini: ada yang mendukung, yang menentang, dan bahkan yang bersikap moderat.
Adapun ulama yang mendukung tafsir ilmi, antara lain:
Imam al-Ghazali (w. 1111 M), dalam Ihya’ Ulumuddin dan Jawahir al-Qur’an, dengan mengutip pendapat Ibn Mas’ud, menyatakan bahwa al-Qur’an adalah kitab yang memuat segala macam ilmu pengetahuan; baik yang terdahulu (yang masih ada atau yang sudah punah) maupun yang kemudian (yang sudah diketahui maupun yang belum). Semua itu bersumber dari al-Qur’an. Ia juga berpendapat, bahwa setiap kata dalam al-Qur’an mempunyai makna zhahir dan batin, memiliki makna yang tersurat dan tersirat. Dari sinilah ilmu pengetahuan dalam al-Qur’an itu dapat ungkap dan temukan.[13]

Jalaluddin al-Suyuti ( 1505 M), dalam kitab al-‘Itqan dan al-Iklil fi Istimbath al-Tanzil menegaskan hal yang sama. Kemudian ia juga memperkuat pendapatnya dengan kutipan ayat-ayat al-Qur’an dan hadis. Dua ayat yang menjadi rujukannya, adalah Q.S. An-Nahl [16]: 89 dan al-An’am [06]: 38. [14]

Dan pada hari Kami bangkitkan pada tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri, dan Kami datangkan engkau (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. Dan Kami turunkan kepadamu Kitab untuk menjelaskan segala sesuatu, sebagai petunjuk, serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.

Dan tidak seekor binatang pun yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan mereka umat (juga) seperti kamu. Tidak ada sesuatu pun yang Kami luputkan di dalam Kitab, kemudian pada Tuhan mereka dihimpunkan.

Sementara hadis yang dikutip:
Kelak akan terjadi fitnah-fitnah. beliau lalu ditanya, apa solusinya? Beliau menjawab Kitab Allah (al-Qur’an). Sebab di dalamnya akan terjadi sebelum kalian, dan hukum-hukum yang dapat dipakai untuk menyelesaikan persoalan di antara kalian. Demikian juga pernyataan Ibn masud yang menyatakan: Siapa yang menghendaki ilmu, maka ia hendaknya merujuk pada al-Qur’an, sebab di dalamnya terdapat informasi orang dulu dan yang akan datang kemudian (akhir).

Bila dukungan al-Ghazali dan al-Suyuti terhadap tafsir ilmi masih bersifat teoritis, maka Fakhruddin al-Razi dan Ibn Abu Fadl al-Mursy (w.1257 M) adalah ulama mulai mencoba mengaplikasikan teori tersebut di dalam tafsirnya.

Penilaian juga disampaikan ulama modern seperti Thantawi Jauhari dan ulama sebelumnya, bahkan Rasyid Ridha (w. 1935 M), dalam Tafsir al-Manar menyatakan: “Al-Quran mencakup segala hakikat ilmiah yang diungkap oleh pendapat-pendapat kontemporer, khususnya bidang filsafat dan sosiologi”. [15]

Di antara ulama yang menentang tafsir ilmi, antara lain:
Abu Ishaq al-Syathibi (1388 M) menentang tafsir ilmi dengan beralasan bahwa al-Qur’an yang diturunkan pada masyarakat Arab dulu itu tidak mungkin melampaui kapasitas pengetahuan mereka. Mereka adalah orang-orang yang lebih tahu tentang maksud al-Qur’an dari masa sekarang. Jadi, memahami al-Qur’an dengan sains terlalu berlebihan dan menjauhkan maksud al-Qur’an sendiri. Untuk mengetahui makna-makna al-Qur’an, hendaknya dibatasi dengan pengetahuan yang dimiliki orang Arab zaman dulu. Al-Syatibi juga mengomentari ayat-ayat yang menyatakan bahwa al-Qur’an memuat segala hal yang dikutip oleh al-Suyuti. Menurutnya, arti dari kata “Kitab” pada Q.S. An-Nahl [16]: 89 dan al-An’am [06]: 38, bukanlah al-Qur’an, melainkan kitab di laufudz Mahfud, sebuah kitab yang ada di surga.[16]

Nashr Hamid Abu Zayd mengemukakan kelemahan tafsir ilmi dalam sisi metodologisnya, yakni tercerabutnya kontekstualitas historis al-Qur’an dengan sejarah dimana ayat itu turun yang justru merupakan nilai paling prinsipil menentukan kebenaran penafsira terhadap al-Qur’an.[17]

Amin al-Khulli, barangkali, adalah orang yang paling sistematis dalam mengemukakan kelemahan tafsir ilmi ini dari berbagai aspek. Sebagaimana yang dijelaskan J.J.G. Jansen, kritik Amin-al-Khulli terhadap tafsir ilmi meliputi: pertama, dari aspek bahasa. Makna-makna ayat dalam al-Qur’an tidak mengarah ke pergeseran arti atau istilah-istilah di bidang ilmu pengetahuan. Kedua, dari segi filologisnya. al-Qur’an ditujukan kepada sahabat-sahabat Nabi Muhammad orang Arab, dan karenanya tidak memuat segala sesuatu yang mereka tidak bisa mengetahuinya. Ketiga, dari segi teologis. Al-Qur’an mengajarkan agama. Ia berkaitan dengan pandangan manusia mengenai hidup, bukan pandangan-pandangan kosmologisnya. Keempat, dari segi ketidak mungkinannya secara logis, bahwa al-Qur’an yang secara kuantitas teksnya terbatas, statis dan tidak berubah, dapat berubah memuat pandangan-pandangan yang bisa berubah-ubab dari para ilmuan abad ke 19 dan abad 20. [18]

Sementara yang mencoba bersikap moderat, yakni menerima dengan memberikan syarat tertentu, antara lain:
Musthafa al-Maraghi (w. 1965 M), Sayyid Qutb (w. 1933 M), dan Nashir Makarim al-Syayraziy menerima tafsir ilmi namun dengan syarat bahwa teori sains yang diterapkan dalam al-Qur’an harus sudah mapan dan pasti. Menurut al-Maraghi “Kita tidak boleh menarik ayat-ayat al-Qur’an kepada ilmu sains, atau menghubungkan sains dalam menjelaskan fakta-fakta al-Qur’an. Akan tetapi, al-Qur’an dapat ditafsirkan dengan sains jika lahiriyah ayat sejalan dengan fakta-fakta yang pasti”[19]

M. Syahrur, meski mendukung tafsir ilmi dan secara eksplisit tidak memberikan ketentuan-ketentuan syarat-syarat tertentu, namun motodologi penafsirannya yang mempertimbangkan makna kata dan keterkaitan antar ayat, dapat dimasukkan kedalam golongan ini, artinya ia tidak semena-mena menafsirkan al-Qur’an, harus sesuai dengan kaidah bahasa. Ia juga menyatakan bahwa setiap penafsiran adalah produk pemikiran manusia, maka tidak ada sakralitas dalam setiap penafsiran. Ini menununjukkan bahwa tidak boleh ada klaim kebenaran dalam suatu penafsiran, termasuk penafsiran yang berdasarkan kebenaran sains.

Muhammad Qurais Shihab, dalam Membumikan al-Qur’an, memberikan ketentuan tertentu. Pertama, penafsirannya sejalan dengan kaidah bahasa Arab. Kedua, memperhatikan konteks antara kata atau ayat, baik ayat sebelumnya maupun ayat sesudahnya. Ketiga, berdasarkan pada fakta ilmiah yang telah mapan. Di samping itu, penemuan ilmiah tersebut tidak dapat diatasnamakan sebagai al-Qur’an. Al-Qur’an sebagai wahyu, kebenaran al-Qur’an diakui secara mutlak, sementara kebenaran temuan ilmiah bersifat relatif, maka jangan terjebak dalam trut claim. [20]

Aspek Positif dan Negatif Tafsir Ilmi
Setelah menjelaskan bagaimana pandangan para ulama terhadap tafsir ilmi, di bawah ini akan dipaparkan apa saja aspek positif dan negatif yang dapat ditemukan dalam tafsir ilmi ini.
Adapun aspek positif tafsir ilmi di antaranya:
1.   Mendorong umat Islam untuk berani merespon modernisasi, pembaharuan dan tantangan zaman.
2.   Mengajak seseorang untuk belajar dari orang lain dan megambil hikmah dari sumber apa pun.
3.   Menghargai ilmu pengetahuan dan hasil pemikiran manusia, tidak semata-mata dari riwayat Nabi saja.
4.   Menyelaraskan agama dan sains, sehingga antara keduannya menjadi seimbang.
5.   Mendorong umat Islam mengejar prestasi sains, mengkaji sains orang lain, dan melakukan penafsiran ulang dengan menggunakan teori santifik orang lain tersebut.
6.   Membawa orientasi penafsiran ke penafsiran al-Qur’an yang menjauhkan diri dari sikap mensakralkan pendapat, melaikan ke penafsiran yang bersifat zamani, historis dan berubah-ubah sesuai tuntutan zaman.
7.   Mempermudah dan memperdalam seseorang menyerap ayat-ayat al-Qur’an dengan bantuan sains yang sudah dikenal.

Sementara aspek negatifnya:
1.   Cenderung mengadopsi produk pemikiran orang lain, bukannya dari diri sendiri, dikarenakan kurang percaya diri. Menjadikan umat Islam hanya sebagai konsumen peradaban lain bukan sebagai produsen, atau sebagai pentransfer bukan sebagai penemu.
2.   Membawa hasil pemikiran ilmiah tanpa konsepsi saintifik. Artinya, menjadikan sains hanya sebagai terjemahan produk Barat tanpa menciptakan rekonstruksi pandangan dunia umat Islam berdasarkan konsepsi santifik orang-orang Barat.
3.   Menyibukkan diri hanya pada keilmiahan al-Qur’an, dan melupakan persoalan realitas-politik masyarakat.
4.   Penafsiran ayat yang dimulai dengan teori-teori sains mengakibatkan agama sebagai pengekornya, sehingga sains lebih unggul daripada agama.
5.   Tafsir ilmi menunjukkan kelemahan seseorang terhadap penguasaannya terhadap sains dengan cara mencari legitimasi pendapatnya dari agama, bukan dari sains sendiri. Atau sebaliknya, penafsiran agama dengan sains menunjukkan ketidak mampuan memahami agama sehingga mencari legitimasi terhadap sains.
6.   Dalam menyelaraskan sains dengan agama, tafsir ilmi hanya mengambil unsur sains yang sejalan dengan agama atau mengambil ajaran agama yang sejalan dengan sains.[21]

Kesimpulan
Dari pembahasan mengenai tafsir ilmi yang telah dipaparkan sebelumnya, maka butir-butir pokok yang dapat dipetik, antara lain:

Tafsir ilmi adalah tafsir memakai pendekatan ilmiah guna menggali teori-teori ilmiah dan pemikiran-pemikiran filosofis dari teks ayat-ayat al-Qur’an. Tafsir ilmi, di samping bertujuan membenarkan dan mengkompromikan teori-teori ilmu pengetahuan dengan al-Qur’an, juga bertujuan menggali ilmu pengetahuan dari ayat-ayat al-Qur’an. Tafsir ilmi berangkat dari sebuah asumsi, bahwa kitab suci al-Qur’an tidak bertentangan dengan akal sehat manusia dan mengandung berbagai macam ilmu, baik yang terkait dengan ilmu agama, maupun ilmu pengetahuan umum.

Munculnya tafsir ilmi mengundang sikap pro kontra di kalangan ulama. Sekelompok ulama ada yang mendukung, ada pula yang menentang dan juga yang bersikap moderat. Yang mendukung percaya, bahwa al-Qur’an memuat berbagai ilmu pengetahuan, dan ilmu pengetahuan baru dapat digali darinya. Yang menentang berpendapat, al-Qur’an itu bukanlah ilmu pengetahuan, melainkan kitab petunjuk moral dan ibadah bagi umat manusia. Sementara yang moderat, memberikan syarat-syarat agar tafsir ilmi tidak terlalu jauh melangkah dengan memaksakan teori-teori ilmiah ke dalam al-Qur’an. Di antara syarat-syaratnya adalah harus sejalan dengan kaidah bahasa Arab, memperhatikan konteks antara kata atau ayat maupun konteks sosial masyarakat Arab, dan berdasarkan pada fakta ilmiah yang telah mapan. Di samping itu, penemuan ilmiah tersebut tidak dapat di atasnamakan al-Qur’an, melainkan produk penafsiran (pemahaman) manusia yang bersifat nisbi dan relatif.
Tafsir ilmi memliki sisi positif, di antaranya: mendorong umat Islam berani merespon modernisasi, pembaharuan dan tantangan zaman, menghargai sains dan hasil pemikiran manusia, dan menyelaraskan agama dan sains hingga keduannya menjadi seimbang. Sementara sisi negatifnya, antara lain adalah: kecenderungan mengadopsi produk pemikiran orang lain, menyibukkan diri hanya pada keilmiahan al-Qur’an dan melupakan persoalan realitas-politik masyarakat, dan penafsiran ayat yang dimulai dengan sains akan mengakibatkan agama sebagai pengekornya, sehingga sains lebih unggul daripada agama.

------------
-->
1. QS. Al-Baqarah: 02. Juga bisa lihat QS al-Nahl: 89
2. Saat al-Qur’an dibawa ke dalam realitas kehidupan masyarakat yang dipenuhi oleh perdebatan pemikiran filosofis maka lahirlah tafsir bercorak falsafi. Dan kala al-Qur’an dibawa kepada realitas kehidupan masyarakan yang sedang berada dalam perdebatan teologis, maka lahirlah tafsir-tafsir yang sarat dengan madzhab-madzhab teologis; sunni, syi’i, mu’tazili. Demikian pula ketika al-Qur’an harus berhadapan dengan realitas masyarakat modern yang ramai memperbincangakan ilmu pengetahuan, yang gaya hidupnya tak lepas dari penggunaan hasil sains dan teknologi, maka lahirlah tafsir bercorak ilmi.
3. Manna’ al-Qaththan, Mabahist fi Ulum al-Qur’an, (Riyadh: Mansyurat al-‘Ashri al-Hadis, 1973), h. 323. 
4. Abdul Mustaqim, Aliran-Aliran Tafsir dari Preode Klasik hingga Kontemporer, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005), h. 2
5. Ibid
6. M. Ali Ridla’i al-Asfahani, Tafsir Ilmiah terhadap al-Qur’a, http://ahmadsamantho.wordpress.com. Dari pengertian ini dapat ditangkap isyarat bahwa tafsir ilmi, di samping bertujuan membenarkan dan mengkompromikan teori-teori ilmu pengetahuan dengan al-Qur’an, ia juga bertujuan menggali ilmu pengetahuan dari ayat-ayat al-Qur’an. Lihat  Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, juz II (Beirut: Dar al-Fikr 1976), h. 474. Lihat juga Yusuf al-Qardlawi, Berinteraksi dengan al-Qur’an, trj. Abdul Hayyie al-Kattani (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), h. 531.Adapun metode yang biasanya digunakan oleh ulama dalam menerapkan tafsir ilmi, yaitu dengan c ara memanfaatkan ilmu-ilmu empiris untuk menjelaskan tanda-tanda ilmiah dari ayat-ayat al-Quran. Lihat Ridla’i al-Asfahani, Tafsir Ilmiah terhadap…, http://ahmadsamantho.wordpress.com.
7. Thantowi Jawhari, al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an al-Hakim, (t.tp.: Musthafa al-Halabi), juz I, h. 66-67.
8. M. Abduh, Tafsir Juz ‘Amma (Mesir: Al-Jam’iyyah al-Khairiyyah, 1341 H), h. 5-6. Atau M. Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, (Mesir: Dar al-Manar, 1954), h.  208212.  
9. Ali Ridla’i al-Asfahani, Tafsir Ilmiah terhadap…, tp://ahmadsamantho.wordpress.com
10. M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an Membumikan al-Qur’an: Fungsi Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Jakarta: Mizan,1994), h.101.
11. Abdul Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h.64.
12. Wildana Wargadinata, Perkembangan Pemikiran Zaman Abbasiah Sebagai Akar Tafsir Ilmy Abad Modern, dalam jurnal el-Harakah vol. 9, No. 1 Januari-April 2007, h. 24.
13. Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din (Kairo: al-Tsaqafah al-Islamiyah, 1356 H) jilid I, h. 301. Lihat juga M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an Membumikan al-Qur’an…., h. 101.
14. Muhammad Husein al-Dzahabi, Tafsir al-Mufassirun …, juz II, h. 474-477. 
15. M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an Membumikan al-Qur’an…, h. 102.
16. J.J.G. Jansen, Diskursus Tafsir al-Qur’an Modern, trj. Hariussalim, Syarif Hidayatullah (Yoyakarta: Tiara Wacana, 1997), h. 56.
17. Muhammad Kidam Akfi, Al-Qur’an dan Ilmu Modern, http://pelukis.multiply.com
18. J.J.G Jansen, Diskursus Tafsir al-Qur’an Modern…, h. 86.
19. Abdul Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir…,  h. 106.
20. M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an Membumikan al-Qur’an…, h. 105-110
21. Hasan Hanafi, Metode Tafsir dan Kemaslahatan Umat, trj. Najib ddk. (Yogyakarta: Nawesea, 2007), h. 40-45.  

-->
Daftar Pustaka
Abduh M. Tafsir Juz ‘Amma. Mesir: Al-Jam’iyyah al-Khairiyyah, 1341 H.
Akfi Kidam Muhammad, Al-Qur’an dan Ilmu Modern, http://pelukis.multiply.com
Al-Asfahani Ridla’i Ali M. Tafsir Ilmiah terhadap al-Qur’a. http://ahmadsamantho.wordpress.com
Al-Dzahabi Husain Muhammad. al-Tafsir wa al-Mufassirun. juz II, Beirut: Dar al-Fikr 1976
Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din. Kairo: al-Tsaqafah al-Islamiyah, 1356 H, jilid I.
Al-Qardlawi Yusuf. Berinteraksi dengan al-Qur’an. trj. Abdul Hayyie al-Kattani. Jakarta: Gema Insani Press, 1999.
Hanafi Hasan. Metode Tafsir dan Kemaslahatan Umat. trj. Najib ddk. Yogyakarta: Nawesea, 2007. 
Jansen J.J.G. Diskursus Tafsir al-Qur’an Modern. trj. Hariussalim, Syarif Hidayatullah Yoyakarta: Tiara Wacana, 1997.
Jawhari Thantowi. al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an al-Hakim. t.tp.: Musthafa al-Halabi, juz I.
Mustaqim Abdul. Pergeseran Epistemologi Tafsir. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
______________Aliran-Aliran Tafsir dari Preode Klasik hingga Kontemporer, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005.


0 komentar:

Posting Komentar