skip to main |
skip to sidebar
Sepulang sekolah ia pergi ke belakang rumahnya. Dibawanya sebilah bambu kemudian ditancapkannya ke tanah yang becek di pinggiran tempat sampah. Dari gembur tanah yang terangkat keluarlah cacing-cacing bergeliat. Dengan hati-hati dicabutinya binatang itu dari tempatnya ke dalam sebuah botol kecil. Dipilihnya yang kecil-kecil. Sering ia berseru, merintih hatinya, mendengar jerit tangis cacing-cacing itu. Saat melihatnya ada yang terpotong, atau yang bersi keras tak mau menyerah untuk ditarik tubuhnya dari tanah. Ia pun mesra dirinya sangatlah jahat tak berperasaan. Tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya anak kecil, yang lemah menghadapi perasaannya. Dan lebih menurut pada nafsunya, yang ingin bersenang-senang memancing ikan.
Saat ikan pun didapatkannya. Ia senang, sekaligus bersedih hati. Sebab tak tega melihat kail tertancap pada bibir ikan. Sering ia membayangkan ikan itu adalah dirinya, dan luka di bibirnya itu pasti lebih ngilu, lebih perih dari sakit sariawan yang sering dideritanya. Ia juga membayangkan nasib ikan itu. Sering ia bertanya-tanya, apakah hewan di tangannya itu adalah seekor anak, nenek, ayah atau ibu dari ikan-ikan yang ada di dalam sungai itu? Lalu bagaimana nasib ikan-ikan yang ditinggalkannya? Tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya anak kecil, yang lemah menghadapi perasaannya. Dan lebih menurut pada nafsunya, yang ingin bersenang-senang memelihara ikan di kolamnya.
Februari 6, 2010
0 komentar:
Posting Komentar