Yang Puitis

Mari kita berandai-andai, sekarang. Bayangkan, bila ada sebuah satelit di luar angkasa yang fungsinya sama seperti kamera video. Dengan satelit itu, kita dapat menonton apapun di dunia ini lewat layar komputer, laptop, ipod, hp, dan lain-lain. Apa yang tampil pada layar alat-alat teknologi tersebut sangat jelas, jernih, dan nyaris seperti aslinya. Kita juga dapat melihat hal-hal kecil dan detail dengan cara mengezoom gambar. Mengarahkan fokus pandangan kita ke titik-titik tertentu hanya dengan menggeserkan jari. Menambah volume suara hingga suara jangkrik paling kecil pun di kerimbunan rerumputan dapat kita dengar. Satelit tersebut sudah layaknya seperti mata dan pendengaran manusia. Tidak, lebih dari itu, mewakili keseluruhan tubuh kita. Ketika kita ingin melihat pantai, kita tidak perlu pergi ke pantai itu, kita tinggal menyambungkan alat teknologi visual kita ke satelit tersebut, mengeklik tempat yang mau kita kunjungi, maka kita bisa melihat pantai tersebut secara live. Bila kita hendak bertemu orang lain, bercakap-cakap, membicarakan sesuatu, rapat, atau pertemuan apapun, kita tidak perlu bertatap muka langsung. Pertemuan kita dengan orang lain bisa dilakukan dengan bantuan teknologi, sehingga, meski dalam jarak jauh, kita dapat berkomunikasi, tidak hanya suara tapi juga tubuh kita bisa kita hadirkan, secara visual. Bayangkan, jika semua layanan itu kemudian dapat diakses dengan gampang, murah, atau bahkan gratis. Dan alat-alat teknologi tersebut juga sangat terjangkau. Apakah hidup seperti itu, bagimu, keren?

Bagi saya, teknologi adalah perekayasa. Betapapun dapat mewakili dunia nyata, tetap apa yang ditampilkannya adalah rekayasa. Produk yang lahir dari rahim teknologi bersifat manipulatif. Secanggih apapun, teknologi tidak dapat menghadirkan dunia nyata. Akan tetapi, bukan berarti teknologi tidak dapat menggantikan dunia luar. Ia memang menciptakan tiruan, namun, sebagaimana halnya tiruan, ia bisa ditambah, dimodifikasi dengan hal-hal lain, hingga pada akhirnya tiruan itu pun akan berbeda dengan aslinya, mencipta hal baru, dunia baru, dunia lain. Oleh karena itu maka kita sering melawankan teknologi dengan alam. Alam adalah dunia luar yang nyata, sementara teknologi adalah sesuatu yang menirunya, atau yang menjadikan alam sebagai bahannya (sarana) untuk menciptakan produk yang bersifat teknologis. Ada yang mengatakan bahwa sejatinya teknologi adalah perpanjangan dari tubuh manusia. Ia adalah alat yang diciptakan manusia untuk kepentingan manusia. Ia adalah sesuatu yang netral. Tapi, benarkah netral? Sendok yang diciptakan untuk menggantikan tangan. Kendaraan bermotor untuk menggantikan kali kita. Kamera untuk membantu jangkauan penglihatan mata dan ingatan kita. Dan lain-lain. Benarkah semuanya itu netral? Saya kira tidak. Kota Kraksaan yang jaraknya lima kilo meter dengan kampung saya yang dulu terasa jauh, sesudah saya punya motor, kini terasa dekat, sangat dekat. Dulu air begitu berharga karena untuk mendapatkannya saya harus mengayuh sumur pompa di rumah, tapi setelah ada mesin sanyo (mesin pompa air) maka air kemudian menjadi hal yang biasa. Masih banyak pengalaman lain yang menunjukkan bahwa teknologi tidak netral, ia dapat mengubah nilai dan sudut pandang saya terhadap sesuatu.

Ada tiga karakter, menurut saya, yang paling dominan dari teknologi. Pertama, bahwa ia bersifat artifisial. Artifisial, artinya buatan, tiruan, menyerupai sesuatu. Teknologi dibuat untuk menyerupai sesuatu. Serupa tidak hanya pada bentuknya, tapi juga bisa fungsinya. Sendok, tidak sama dengan tangan, tapi fungsinya sama dengan tangan, mengangkut makanan ke mulut. Keserupaan bentuk yang paling kuat dari teknologi saat ini, adalah lahirnya alat-alat teknologi audio visual seperti televisi dan internet. Keduanya mampu menampilkan gambar dan suara yang nyaris seperti aslinya. Kedua, bersifat teknis. Yakni ia adalah sebuah cara (alat) untuk mengerjakan sesuatu, mengolah sesuatu, memproduksi sesuatu. Dari sifat ini maka teknologi tidak akan lepas dari kegiatan eksploitatif, mengeruk alam untuk dijadikan sesuatu, untuk kepentingan manusia. Ketiga, materiil. Maksudnya bersifat fisik (kebendaan). Semua barang-barang teknologi bersifat fisik. Dan karena ia fisik, maka ia juga dibuat untuk kepentingan fisik manusia, yakni kenikmatan dan kemudahan fisik manusia. Keempat kecepatan. Semakin cepat kerja teknologi maka semakin canggihlah ia. Yang lambat akan tergantikan dengan yang cepat. Jika ketiga macam di atas adalah berkaitan dengan ruang, maka kecepatan berkaitan dengan waktu. Bagaimana manusia, dengan teknologi, hendak menguasai waktu, mengalahkan, melampauinya. Keempat karakter teknologi ini akan menjadi tolak ukur dari suatu nilai teknologi. Ya, semakin artifisial sebuah teknologi, semakin teknis, semakin materiil  dan semakin cepat. Maka nilainya kian tinggi.

Nilai-nilai itulah yang membuat teknologi terlihat hebat. Ditambah bila kemudian teknologi mampu melampaui realitas (ruang dan waktu). Menciptakan realitas baru yang lepas dari realitas nyata. Mengabadikan waktu. Kemampuan melampaui realitas itu menunjukkan kehebatan manusia yang bisa melampaui segala hal. Jika Tuhan menciptakan alam, manusia menciptakan teknologi. Lalu, jika dengan teknologi manusia menciptakan realitas baru, yang dengannya ia bisa berbuat sesukanya, berkuasa. Bukankah manusia nanti akan merasa seperti Tuhan? Dan bukankah kemudian Tuhan menjadi tidak akan berarti lagi? Tanah, air, pohon, binatang, tumbuhan, bebatuan, bahkan tubuh kita sendiri, menjadi tidak berarti karena semua ini bukan hasil teknologi. Segala yang berasal dari alam yang natural, termasuk diri kita, adalah dari Tuhan. Yang semuanya adalah bahan mentah yang belum jadi. Menjadi hal yang biasa, karena adalah bahan mentah, belum jadi. Karena pengolahan bahan mentah menjadi matang, maka timbullah rasa bahwa teknologi lebih hebat dari alam. Buatan manusia lebih hebat dari buatan Tuhan. Dari cara berpikir seperti ini, maka kita akan lebih senang naik motor ketimbang jalan kaki. Lebih suka bercakap-cakap lewat hp, chattingan, daripada bertatap muka langsung dengan orang. Hal itu lebih keren, lebih asyik, terkesan menunjukkan kemajuan peradaban manusia, daripada kita langsung bertatap muka. Kita lebih suka memandang foto pasangan atau orang yang kita cintai daripada langsung melihat wajahnya. Karena yang di foto, di video, lebih indah. Kita akan memandang alam tidak mempunyai nilai apapun kecuali bahan mentah dari produk teknologi. Bahkan manusia akan dipandang sebagai barang yang nilainya sama dengan benda-benda alam lainnya. Inilah cara pandang teknologis yang bila kita tidak kritis terhadapnya, kita akan di telan dan hanyut di dunianya.

Apabila kita masih menganggap teknologi lebih hebat dari alam. Maka, bagi saya, kita masih terperangkap dalam pola pikir teknologis. Kita dikuasai oleh teknologi. Agar tidak terjebak dalam pola pikir teknologis. Kita harus terus menempatkan teknologis pada porsi yang semestinya. Bahwa ia hanyalah alat. Teknologi tidak dapat menggantikan alam. Apalagi melampaui alam. Menciptakan realitas baru. Apa yang dilampauinya adalah tiruan, rekayasa, psudo realitay (realitas buatan). Untuk merasakan hal ini (di sini saya memakai pendekatan rasa yang saya pikir lebih mampu memperjelas ketidakmampuan teknologi dalam menandingi alam). Yakni bahwa alam bukanlah sekedar bahan, tapi karya besar Tuhan. Yang lebih dahsyat dari teknologi. Adalah dengan merasakan keindahannya.

Alam itu adalah puitis. Inilah tesis saya. Dan kepuitisannya tidak dapat ditandingi oleh teknologi. Atau, meski kemudian teknologi mampu menciptakan karya seni, tapi tetap, bagi saya, tidak akan dapat mengalahkan keindahan alam. Secanggih apapun sendok, semahal apapun ia, terlapisi oleh emas sekian karat, diberi ukiran-ukiran yang menawan, tak akan mampu menggantikan nikmatnya makan dengan tangan. Kenikmatan jalan kaki ketika jalan-jalan akan lebih nikmat daripada naik motor. Letih memang, namun akan lebih terasa, akan menjadi kenangan manis suatu hari nanti. Secanggih apapun efek gambar di layar televisi, daun jatuh di musim gugur misalnya, tak akan dapat menggantikannya keindahan daun gugur sebenarnya di alam nyata. Secantik apapun wajah foto pasanganmu, akan kalah manisnya jika dia berada di dekatmu. Melihat senyumnya langsung akan lebih mendebarkan hatimu daripada kau melihatnya dalam sebuah layar gambar. Apalagi jika kau dapat menyentuhnya. Meskipun ayam kampung keras dan sedikit dagingnya, ia akan lebih enak dari ayam potong. kehangatan matahari terbit, senja merah, sinar bulan, tidak akan bisa ditandingi oleh lampu manapun pun.

Bagaimana pun, yang alami tidak akan terkalahkan. Alam bukan bahan mentah. Ia adalah sebuah karya, karya Tuhan. Dan manusia tidak akan dapat mengalahkan Tuhan. Keindahan teknologi tidak akan mampu menandingi keindahan dan kepuitisan alam. Kenapa? Kenapa alam lebih indah? Kenapa ketika kita berkontak langsung dengan alam, kita merasakan sesuatu yang indah, yang puitis? Yang tidak terwakili oleh teknologi? Kenapa alam itu puitis? Dari segi apanya? Jawabnya, menurut saya, karena kita adalah bagian dari alam. Kita menyatu dengannya. Keintiman kita dengan alam, seperti dalam hubungan darah. Kita memiliki hubungan biologis dengan alam. Tidak ada yang dapat memahami alam, merasakannya, dengan sangat intim, kecuali manusia. Ya, alam yang meskipun tampak sederhana, tapi mampu memancarkan pesona, karena kita ada dalam alam. Kita bagian dari yang alami itu. Ikatan dan kesamaan diri inilah yang membuat kita dekat dengannya. Kita dapat merasakannya sepenuh jiwa raga.

0 komentar:

Posting Komentar