Saya pertama kali mengenal anda melalui buku anda Heidegger dan Mistik Keseharian; Suatu Pengantar Menuju Sein Und Zeit. Kala itu saya mendapat tugas dari dosen saya pengajar mata kuliah Hermeneutika untuk mengarang pemikiran Heidegger mengenai hermeneutikanya. Sungguh tidak gampang memahami Heidegger. Mengingat latar belakang pendidikan saya yang bukan filsafat. Dan juga, tokoh yang sedang saya kaji itu, masuk dalam tokoh-tokoh filsuf posmodern yang sejauh saya ketahui, adalah pengkritik filsafat zaman modern, sementara saya kala itu masih awam dengan filsafat modern, saya memang pernah ikut dalam komunitas diskusi filsafat, tapi sebatas filsafat klasik Yunani. Tapi, membaca buku kecil anda itu, kian menambah kecintaan saya akan filsafat. Cara anda menyajikan pemikiran Heidegger sangat menarik. Anda tidak saja menjelaskan tapi juga mengajak pembaca untuk ikut merasakan, menghayati, dan berfilsafat bersama Heidegger. Ditambah tema-tema filsafat Heidegger yang dekat dengan keseharian kita. Saya seolah ikut berfilsafat terhadap diri saya sendiri. Saya merasa kali itu filsafat benar-benar menghidupi saya. Rumitnya memahami filsafat Heidegger tidak mengurungkan saya untuk berhenti membaca, kalau tidak salah, sudah tujuh kali saya membaca buku anda itu, dan saya tidak merasa bosan. Seperti kata anda, kerumitan itu mempesona. Dan anda, lewat buku anda itu, mengajari saya bagaimana mencecap kerumitan itu dengan cara yang mengasyikkan. Begitulah, kemudian saya berlanjut membaca karya-karya anda seperti Kritik Ideologi, Filsafat Fragmentaris, Melampaui Positivisme dan Modernitas, Memahami Negativitas; Diskursus tentang Massa, Teror dan Trauma dan lain-lain. Seperti kata Goenawan Muhammad, anda termasuk penulis yang jernih dalam menjelaskan pemikiran filsafat. Saya selalu menunggu karya-karya anda yang terbaru, seperti para fans menunggu keluarnya album baru penyanyi idolanya . Tiap kali saya ke toko buku, menengok bagian rak buku-buku filsafat, saya mengharap ada buku anda di situ. Lama saya menunggu, hingga saya lulus kuliah dan pulang kampung. Namun, beberapa hari yang lalu, saat saya pergi kota Jogja, tiba-tiba saya terkejut, saya mendapati nama anda tertera pada sebuah buku baru mungil berjudul Humanisme dan Sesudahnya; Meninjau Ulang Gagasan Besar Tentang Manusia.
Mengapa harus humanisme? Demikian anda mengawali tulisan anda. Mengapa kita perlu memikirkan kembali humanisme? Bukankah tema ini telah usang, telah sering dibahas oleh para filsuf modern dulu seperti Erasmus, Comte, Feuerbach? Mengapa kita perlu mengkajinya kembali? Karena, kita hidup di zaman yang berbeda dengan para humanis terdahulu itu. Karena, masalah masyarakat dan kebudayaan yang kita hadapi saat ini lebih kompleks dan rumit. Karena, kita hidup di abad 21, dunia yang memiliki banyak hal yang membingungkan. Salah satunya, adalah tentang masalah nilai kebenaran. Pada zaman ini, nilai-nilai universal atau yang oleh Jean F. Lytard disebut Grandnarrative telah kehilangan kredibilitasnya. Kemudian pluralisme nilai-nilai kian mengarah pada konsekuensi relativisme nilai-nilai. Kala terjadi relativisme nilai-nilai, maka manusia seperti kehilangan pegangan hidup, mereka terombang-ambing, dan goyah. Yang tak kuat akan jatuh pada paham naturalisme, yang menawarkan objektivitas nilai dengan basis materi, fiskal, karena memang dapat diukur secara obyektif. Namun, apa yang dilakukan naturalisme justru mereduksi kenyataan menjadi sesuatu yang material, biasa, dan sisi supranatural dalam kenyataan termasuk dalam diri manusia pun dikebiri. Dengan naturalisme objektivitas nilai dipersempit menjadi sesuatu yang bersifat material dan fiskal. Bukankah pandangannya ini sisi kemanusiaan dalam diri manusia, yakni meringkus kekhasan manusia? Di sisi lain ada agama yang kemudian tampil kembali untuk menawarkan kebenaran universal yang telah dihancurkan itu. Namun, ketika agama menjadi kebenaran universal, dan merasa memiliki otoritas atas kebenaran sejati, maka ia kemudian kembali merasa tak bisa diganggu gugat, berubah menjadi sesuatu yang harus dilaksanakan dengan jalan paksa dan kekerasan. Hal ini dapat kita saksikan seperti peristiwa 9/11 atau peristiwa-peristiwa kekerasan yang didasarkan atas agama. Lalu, apa yang dapat kita lakukan? Menghidupkan kembali nilai humanisme yang pada zaman dulu juga lahir dari hegemoni agama? Tapi bukankah dengan relativisme nilai di zaman ini, nilai humanisme telah dihancurkan? Lewat buku kecil ini anda berusaha menjawab bahwa kita masih dapat menghidupkan kembali humanisme, namun dengan wajah yang lain.
Sejarah Humanisme Modern
Untuk menghidupkan kembali humanisme, kita harus kembali ke masa lalu, masa di mana humanisme itu pertama kali lahir. Bila kita menilik kembali sejarah, demikian kata anda, kita dapat menemukan benih-benih dasar humanisme universal pada zaman dulu, yakni dari bangsa Yunani kuno dengan sistem pendidikannya, yang disebut paidea, yakni pendidikan yang didirikan untuk mengolah bakat-bakat manusia, dan dari bangsa Romawi kuno dengan gagasannya tentang manusia sebagai animale rationale. Semangat itu kemudian dihidupkan kembali dengan gerakan humanisme modern sebagai upaya untuk menghargai kembali manusia dan kemanusiaannya dengan memberikan penafsiran-penafsiran rasional yang sebelumnya dimonopoli oleh penafsiran kombinasi ajaib agama dan negara. Demikianlah awal lahirnya humanisme, yakni sebagai bentuk perlawanan terhadap kepongahan otoritas agama di Eropa. Sebenarnya, sebagaimana diungkap Heidegger, kekristenan yang memusatkan diri pada keselamatan jiwa manusia juga adalah sebuah humanisme. Namun, kala doktrin keselamatan berubah menjadi alat kontrol atas kebebasan individu, di mana yang penting tidak lagi manusia nyata, melainkan agama, maka pada saat itulah agama berubah menjadi anti humanis.
Hubungan antara humanisme modern dengan ilmu pengetahuan alam tidak dapat dielak menambah sikap skeptis terhadap agama. Humanisme pun menjadi suatu gerakan sekularisasi. Desakralisasi manusia pada abad ke 18 pada akhirnya memudarkan segi spiritual yang sedikit banyak masih berbinar pada humanisme renainsain. Di atas tanah humanisme, begitu kata anda, sekuler itu tumbuh berbagai pengetahuan, teknologi, industri, birokrasi, profesi dan konsumsi yang sampai hari ini memberi kita suatu keyakinan yang makin besar bahwa kehidupan di dunia ini penting dan dalam kendali kita manusia. Kebahagiaan pun tidak perlu ditunggu sampai hari pengadilan akhir, melainkan diupayakan sekarang dan di dunia sini lewat sistem pengetahuan dan pengaturan masyarakat yang rasional.
Dalam hal perlawanan terhadap hegemoni agama saat itu, lahirlah humanisme ateis. Ya, humanisme ateis dapat dipandang sebagai reaksi historis atas pengalaman buruk terhadap ulah otoritas agama. Bagi mereka, agama membuat orang melihat Tuhan-- atau lebih tepat kepercayaan kepada Tuhan--sebagai infitilisasi dan pengebirian atas otonomi manusia. Oleh karena itu, Tuhan harus dibunuh. Jelas yang dimaksud membunuh Tuhan di sini, adalah kesadaran atas Tuhan. Sebab, untuk membunuh Tuhan, Tuhan mesti ada lebih dulu. Adalah sebuah kontradiksi mengatakan bahwa para ateis membunuh Tuhan, karena mereka tidak mengakui Tuhan ada. Bagaimana menghadapi sesuatu yang tidak diakui keberadaannya?
Dalam soal membunuh (kesadaran atas) Tuhan, kita mengenal tokoh-tokoh para pembunuh Tuhan. Di antaranya, anda menyebut Feuerbach, yang berkata bahwa manusia menciptakan Tuhan menurut citraannya. Bahwa manusialah yang menciptakan Tuhan lalu menjadikannya kuasa atas diri mereka. Jadi, bayangan-bayangan Tuhan dalam benak kitalah yang telah menghalang-halangi realisasi diri sejati manusia. Jauh lebih dalam dari sekedar menindas secara politis lewat teror, agama telah menjadi biang keladi keterasingan manusia dari dirinya sendiri, sehingga dia menindas bakat-bakat kodratinya sendiri melalui angan-angannya. Jika manusia ingin mekar dengan segenap kemuliaan dan keluhurannya, maka ia harus dibebaskan dari keterasingannya itu. Dengan lain kata, Tuhan harus disingkirkan dari kesadaran manusia.
Kemudian tokoh lainnya adalah Karl Marx, yang mengatakan bahwa agama itu manipulatif. Yang manipulatif pada agama, menurut Marx, adalah fungsinya untuk menutupi akar-akar sesungguhnya kemiskinan dan alienasi kelas-kelas melarat itu. Upaya Marx menyingkap agama sebagai tirai asap yang menyembunyikan pertentangan kepentingan, bertumpu pada epistemologi Cartesian dan Kantian bahwa Tuhan tak lain daripada hasil konstruksi pikiran yang tidak memiliki status ontologis di luar kepala kita. Jadi, Tuhan tidak nyata; hanya manusialah yang nyata. Jika demikian, bukan Tuhan, melainkan manusialah pembuat sejarah.
Seandainya saja Tuhan yang ingin disingkirkan demi mekarnya peradaban kemanusiaan sejati itu hanya bagian dari akal kita, perkembangan sains dan ekonomi, sudah cukup untuk menyingkirkannya. Namun, kenyataan tidak demikian. Agama bukan sekedar pola pikir, melainkan juga pola hidup. Tuhan juga terjangkar kuat dalam jiwa dan penghayatan eksistensial manusia. Terhadap kenyataan seperti itu, maka Nietzsche dan Sartre, demikian kata anda, sebagai pembunuh Tuhan yang membidikkan serangan mereka pada penghayatan eksistensial manusia, agar manusia sungguh-sungguh dapat muncul dengan segala otentitas eksistensialnya tanpa menghamba lagi pada agama.
Menurut Nietzsche, yang membuat hidup kita tidak otentik adalah karena adanya agama yang menganjurkan penolakan terhadap dunia-sini dan menundukkan diri di bawah roh. Jika manusia ingin otentik dengan hidupnya, ia harus mengatakan ‘ya’ (Ja-Sagen) kepada hidup di dunia sini dengan segala naik turunnya. Itu berarti, manusia harus dibebaskan dari penghambaan terhadap roh dan menjadi tuan bagi dirinya sendiri dengan menerima energi kreatif yang memancar dari kehendak dan keduniawian hidupnya. Dengan memaklumatkan Gott Ist Tot (Tuhan sudah mati), filsuf penghujung abad ke-19 ini menobatkan lahirnya suatu peradaban kemanusiaan tanpa Tuhan, tanpa dunia dibalik kubur.
Sementara menurut Jean Paul Sartre (1905-80), manusia itu bereksistensi dulu, yakni berada di dunia ini, dan baru bisa didefinisikan esensinya, setelah ia mati. Jadi, eksistensi mendahului esensi, suatu kebebasan manusia yang mutlak tanpa Tuhan yang memberi tujuan-tujuan kepada hidupnya. Manusia yang bertuhan menemukan makna hidupnya, jika hidupnya merupakan relasi desteny atau takdirnya. Namun, menurut Sartre, desteny atau tujuan yang ditetapkan tuhan sejak awal mula itu justru merupakan sesuatu yang memasung kebebasan manusia untuk merealisasikan diri dan kebebasannya. Jadi tidak ada destiny dari luar diri manusia. Satu-satunya destiny manusia adalah kebebasannya sendiri.
Dari beberapa tokoh humanisme di atas kita dapat melihat bagaimana humanisme tidak saja sekedar merupakan suatu antroposentrisme yang sudah dimulai sejak Descartes, melainkan juga sesuatu yang hanya mungkin bila Tuhan disingkirkan. Seperti para humanisme ateistis pendahulunya, alasan menyingkirkan tuhan itu jelas: dia dianggap menghalangi kebebasan yang realisasi bakat-bakat besar manusia.
Pada dasarnya, humanisme memiliki cakupan yang lebih luas tidak hanya humanisme ateistis; seperti humanisme Kristiani, humanisme Islam, humanisme Kultural, humanisme eksistensial-teistis, yang memaknai pentingnya kemanusiaan dan kehidupannya di dunia-sini tanpa mengesampingkan kepercayaan akan Tuhan. Menurut anda, justru agama-agama monoteislah yang paling getol memberi pengertian sempit itu bahwa humanisme itu ateistis, karena mereka berangkat dari suatu kecurigaan terhadap pendekatan-pendekatan rasionalistis sebagai ancaman bagi iman akan wahyu ilahi.
Untuk lepas dari dogmatisme agama, tidak jarang humanisme memiliki strategi yang lain di samping renungan filosofis di atas, yakni dengan mendekati gejala-gejala manusia dengan ilmu-ilmu empiris yang berjuang pada penjelasan-penjelasan naturalistis tentang manusia, sebagaimana banyak dijumpai pada para fisiokrat, the deists, kaum materialis di Eropa abad ke-18, para behavioris dan para evolusionis abad ke-20. Dalam upayanya merebut manusia dari tafsiran-tafsiran geosentris agama, humanisme bahkan juga mengambil strategi yang ekstrem dengan menolak keyakinan religius dan peranannya dalam kesadaran manusia, sebagaimana dilakukan oleh para humanis ateistis yang baru saja dibahas.
Gerakan humanisme tidak sekedar sebagai kritik belaka, tapi juga mampu memberi sumbangan bagi peradaban Barat. Pertama, radikalisasi moral rasional (Vernunftsmoral). Para humanis pencerahan masih menerima ekssistensi Tuhan, meskipun peranan-Nya sangat minimal dalam sejarah, jika tidak ingin mengatakan tidak sama sekali. Mereka berkeyakinan tanpa wahyu akal dapat memberi informasi tentang mana yang baik atau yang buruk tidak otomatis menyingkirkan iman akan Tuhan. Namun, bukankah iman menjadi berlebihan jika rasio belaka sudah cukup untuk memberi tilikan moral tanpa wahyu ilahi? Maka
para humanisme ateis membawa moral rasional sampai ke tepi akhir imanensi manusia untuk menemukan asas-asas kebaikan yang murni manusiawi tanpa transendensi. Kaum humanis ateistis yakin bahwa tanpa mengharapkan pahala di akhirat, manusia dapat berbuat baik kepada sesamanya, menurut mereka, justru menunjukkan kedewasaan dan penerimaan kehidupan di dunia ini apa adanya. Moral rasional yang tidak dikhususkan pada iman religius tertentu dapat membantu toleransi dalam masyarakat modern yang semakin kompleks. Berbagai etika modern yang sudah menjadi bagian penting kehidupan kita, seperti etika politik, etika sains, etika profesi, etika bio medis, etika bisnis merupakan hasil-hasil perkembangan moral rasional itu.
Kedua, sumbangan humanisme ateistis adalah kritik agama (religionskritik) itu sendiri, sebagai suatu pendekatan rasional yang dapat dilihat sebagai sesuatu yang bermanfaat untuk memurnikan iman religius. Ateisme adalah satu hal, tapi kritik agama adalah hal lain. Orang yang percaya pada Tuhan dapat memanfaatkan kritik agama tanpa harus mengambil sikap ateistis. Kritik agama membantu orang mengambil jarak kritis terhadap penghayatan religiusnya. Sebagai pandangan dunia total, agama mengklaim kebenaran absolutnya sehingga tak seorang pun berani mempersoalkannya. Akal pun dikebiri iman yang buta yang pada gilirannya menginduk pada otoritas yang disakralkan. Keadaan ini tidak disebut manusiawi, karena bakat-bakat rasional manusia ditindas. Semakin agama dan praktek-prakteknya mencekik kebebasan manusia dan membengkok menjadi ideologis, hipokrit dan fanatik, semakin besar kebutuhan akan kritik agama untuk memberi nafas dan kesadaran akan dimensi kemanusiaan dalam agama. Kritik agama tidak membebaskan dari agama, melainkan membebaskan untuk agama.
Dengan hanya percaya saja, tanpa juga berpikir, gambaran tentang Tuhan lama kelamaan dipercaya sebagai Tuhan itu sendiri, padahal gambaran tentangnya dibangun oleh sejarah, kekuasaan dan kebudayaan manusia. Alih-alih memuja Tuhan, manusia lalu memuja gambaran tuhan yang tidak lain daripada berhala pemikirannya sendiri. Feuerbach, Marx, Comte, Nietzsche, dan Sartre benar bahwa sesuatu yang dihasilkan oleh pikiran telah mengasingkan manusia dan memasung kebebasannya. Mereka menyebut itu “Tuhan”, tetapi kita menyebutnya lebih tepat, yaitu gambaran tentang Tuhan. Bukan tuhan, melainkan gambaran kebenaran tentang Tuhanlah yang sesungguhnya harus kita bunuh.
Kemanusiaan (Humanisme) Tanpa Manusia
Ketika humanisme telah mengalahkan agama, ketika humanisme ateis berhasil membunuh Tuhan dalam kesadaran manusia dari berbagai aspeknya, dan ketika manusia Eropa merasa telah menjadi bermartabat karena kemanusiaannya. Maka, apa yang terjadi? Bangsa Eropa dengan humanismenya mulai menegaskan kolonialisasi mereka atas bangsa-bangsa di luar Eropa, di Asia, Afrika, India, Amerika dan Polinesia. Di sinilah kemudian humanisme menemukan masalah pada dirinya sendiri. Mengapa humanisme yang menjunjung tinggi kemanusiaan manusia, ketika berhasil membunuh Tuhan, ia malah membawa manusia kepada alienasi, marginalisasi dan dominasi satu sama lain? Mengapa di atas pilar humanisme justru manusia terancam oleh sesamanya? Ternyata kita luput mempermasalahkan humanisme itu sendiri. Humanisme yang berhasil membunuh Tuhan malah menjadi Tuhan baru. Konsep manusia universal yang mendasari peradaban Barat modern itu mendapat pemaknaan yang eksklusif, yakni dimengerti dari sudut pandang peradaban Eropa. Kita menemukan suatu kesejajaran antara Tuhan yang oleh humanisme dianggap menindas kemanusiaan dan “manusia dengan M” yang ternyata dapat menjadi alasan untuk menindas manusia-manusia di luar Eropa.
Kolonialisme yang dipraktekkan sejak abad-15 sampai ke-18, dan hubungan humanisme dengan totalitarianisme abad ke-20 di Eropa adalah akibat dari pemahaman yang sempit tentang humanisme tersebut. Dengan paham eksklusivitas humanisme tersebut, makna kemanusiaan sedemikian dipersempit, sehingga menyingkirkan orang-orang yang tidak berada dalam cakupannya sebagai ‘bukan-manusia’. Keadaan itu dapat kita sebut kemanusiaan tanpa manusia, karena manusia konkret dalam segala kekhasan dan perbedaannya disingkirkan oleh definisi eksklusif tentang kemanusiaan, kemanusiaan orang Eropa.
Sejarah kolonialisme bermula dari orang-orang Eropa yang menemukan ‘kemanusiaan universal’ dengan gerakan humanisme dan merasa berkewajiban untuk memberadabkan bangsa-bangsa lain di seberang lautan. Kolonialisme seolah mendesak orang Barat untuk mengaku bahwa keagungan dan keluhuran ajaran-ajaran humanis mereka tentang kemanusiaan universal itu tidak diraih begitu saja lewat retorika mimbar yang serba intelektual dan bebas dominasi, melainkan lewat pertumpahan darah dan perampasan kebebasan penduduk tanah-tanah terjajah. Dalam sejarah kolonialisme, manusia ditemukan lewat penegasan diri Barat atas mereka yang terjajah.
Seperti yang dilaporkan oleh sejarawan Swis, Urs Bitterli, dalam Die ‘Wilen’ und die ‘Zilivisierten’ (Yang ‘Liar’ dan Yang Beradab), anggapan umum orang-orang Eropa di zaman kolonialisme tentang penduduk di seberang lautan bervariasi. Pandangan itu bisa dimuali dari stereotip religius yang dibawa abad pertengahan bahwa para penduduk seberang itu ‘kafir’ dan harus diselamatkan dari api neraka, melalui persangkaan rasial bahwa mereka adalah manusia dari spesies inferior, sampai ke sikap-sikap menjadikan mereka obyek—semacam dedaunan eksotis dalam herbarium—yakni sebagai bahan riset ilmiah untuk mengukur keberlainan ciri fisik mereka. Dalam segala variasinya, penduduk seberang lautan dianggap liar, biadab, eksotis atau—meminjam ungkapan Ricard Rotry—“manusia-manusia palsu”. Karena itu mereka tidak hanya diperlakukan sebagai obyek-obyek atau alat-alat, sebagaimana terjadi dalam perdagangan budak dan kerja paksa yang waktu itu menjadi tren, melainkan juga dalam rangka pemberadaban, mereka didomestifikasi dengan standar-standar nilai-nilai Eropa yang dianggap universal. Mereka berdandan seperti orang Eropa, makan dengan cara Eropa, mengikuti adat Eropa atau—singkatnya—menjadi “manusia”. Meski demikian mereka tetap merupakan the other yang tidak pernah pas dimasukkan ke dalam kemanusiaan yang dianut orang-orang Eropa.
Selain kolonialisme, totalaliterisme yang terjadi juga adalah akibat dari paham ekskulivitas humanisme Eropa. Seperti yang dibahas Hannah Arendt dalam bukunya The Original of Totalitarianism. Bagi Arendt, pembersihan etnis besar-besaran yang dilakukan oleh Nazi Jerman dan pembantaian yang dilakukan rezim Komunis Soviet terhadap lawan politisnya, bukannya tanpa preseden. Preseden pertama, tidak lain dari pengalaman menjajah bangsa lain di luar Eropa. Preseden kedua, adalah sesuatu yang telah diawali oleh humanisme, yaitu obsesi pada dunia-sini yang menjadi radikal dalam pandangan yang mereduksi segalanya ada mekanisme alamiah dalam bentuk naturalisme.
Pengalaman dalam memperlakukan penduduk di luar Eropa sebagai sesuatu yang tidak dapat dimasukkan kategori kemanusiaan yang dipahami secara euretentric itu, menurut Arendt, telah menjadi collectve mindset untuk memperlakukan kelompok-kelompok minoritas dan oposisi politis sebagai ‘bukan manusia’. Dengan demikian, mereka yang tidak tercakup di dalamnya bukan hanya dipandang ‘rendah’ sehingga dapat diperbudak, melainkan juga ‘bukan apa-apa’ sehingga dapat dimusnahkan. Dalam kasus Nazisme dan Komunisme, manusia dipersempit pada ras atau kelas tertentu, humanisme mereka berubah menjadi teror yang mengalienisasi, mengintimidasi, dan mendestruksi manusia konkret dengan kekhasan individual dan keragamannya.
Dengan dihilangkannya berturut-turut person yuristis, person moral, dan person moral individual dari orang itu, yang tersisa tinggal manusia alamiah yang bagaikan seekor hewan Pavlovian berperilaku reaktif dan determinasi oleh lingkungan. ‘Dihilangkan’ di sini berarti dianominisasi atau dipersonalisasikan, yakni diubah menjadi kerumunan bilangan-bilangan, sehingga tinggal sesuatu yang sangat universal dalam dirinya, yaitu organisme alamiah yang tunduk pada hukum stimulus-respons. Perilaku itulah yang oleh Arendt disebut teror. Teror membuat manusia konkret kelihatan uberflussing (berlebihan). Manusia diremehkan sedemikian rupa sehingga konsep kemanusiaan yang mereka bangun menyingkirkan segala yang membuat manusia itu individual, plural, dan transendental.
Mempersempit kemanusiaan manusia, juga dapat terjadi kala humanisme berubah menjadi naturalisme, yakni ketika kemampuan-kemampuan kodrati manusia dipersempit menjadi mekanisme naluriah untuk survival belaka. Perubahan ini merupakan sebuah proses pemiskinan yang berlangsung bertahap. Dalam humanisme kristiani, manusia masih memiliki dimensi supranatural, yaitu kepercayaan kepada tuhan dan wahyunya. Humanisme ateistis menghapus Tuhan demi kebebasan. Kebebasan ini kemudian dihapus dalam naturalisme karena dianggap tidak obyektif dan tidak ilmiah. Itulah sebabnya mengapa modernitas kapitalis berusaha menghabisi ciri-ciri misterius manusia, termasuk iman dan kebebasannya, dengan memperlakukannya sebagai human resources, modal atau bahkan komoditas yang bisa dipertukarkan dengan uang, sebagaimana terjadi dalam human trafficking. Ateisme yang menegakkan kebebasan manusia dengan mengusir misteri ilahi, bagi naturalisme, dipandang sebagai suatu misteri yang menggelisahkan yang hanya bisa diusir jika manusia menjadi satu di antara yang murni obyektif, yaitu benda-benda. Di sini, dalam naturalisme, apa yang merupakan hasil ilmu-ilmu empiris yang masih terbuka bagi kalsifikasi justru mendapat status metafisik yang kebal terhadap bantahan. Ya, dalam naturalisme, selubung metafisik, pengebirian terhadap diri manusia sulit disadari karena ia ditopang oleh cara berpikir rasional-saintifik.
Humanisme eksklusivistis adalah kemanusiaan tanpa manusia dalam arti bahwa konsep universal namun eksklusif tentang manusia itu telah menyingkirkan manusia. Manusia mati dibunuh oleh konsep kemanusiaan itu sendiri di tempat antroposentrisme peradaban modern mencapai titik nadirnya.
Apa yang katakan Arendt di atas, mendapat dukungan dari para tokoh filsuf posmodern lainnya yang mengkritik cara berpikir rasional-metafisik abad modern. Heidegger, misalnya, mengatakan bahwa manusia tidak dapat diringkus ke dalam sebuah ‘hakikat’ atau substansi seperti animal rationale karena ia adalah suatu Ek-sistenz. Kata ini berasal dari bahasa latin yang artinya ‘berdiri’ (stare) di luar (ex-) dirinya. Artinya, manusia bukanlah suatu ‘inti’, yang oleh humanisme modern disebut subjektivitas atau subyek, karena ia akan selalu berdiri di luar pusat itu. Jika dilepas dari subjektivitas sebagai pusat pemaknaan segalanya, manusia tidak lagi dimengerti sebagai tuan atas kenyataan , sebagaimana dalam ajaran Marx ‘pembuat sejarah’ atau dalam ajaran Sartre ‘kebebasan mutlak’ atau ‘eksistensi mendahului esensi’. Humanisme mengandaikan bahwa manusia ada lebih dulu, dan baru kemudian dunia atau kenyataan (seiende) ada dengan dikenali manusia. Kenyataan (seinde) telah ada lebih hulu, dan manusia dipanggil oleh Ada (Sein) kenyataan itu untuk memelihara kebenaran Ada. Jadi manusia tidak ada di pusat kenyataan, melainkan berdampingan dengannya.
Derrida melakukan suatu hemeneutika (penafsiran) radikal yang disebutnya ‘dekonstruksi’. Dekonstrusi bukanlah destruksi, melainkan suspensi makna atau differance, yaitu menunda untuk mengembalikan sesuatu pada makna aslinya. Kemanusiaan tidak dapat dimasukkan pada satu titik primordial, misalnya ‘kemanusiaan universal versi humanisme’, karena titik primordial itu tidak ada. Jika tahta tempat segala makna ditentukan itu kosong, tidak ada lagi meta referensi yang menjadi ukuran untuk menentukan sesuatu itu asli atau tidak. Makna tidak lagi diasalkan pada makna induk yang dianggap menduduki makna itu, melainkan dihasilkan dengan apa yang disebut ‘intertekstualitas’, yaitu menghubung-hubungkan makna yang satu dengan makna yang lain secara interpretatif. Dekonstruksi semacam ini berarti menghubungkan secara interpretatif pemahaman yang satu dengan yang lain tentang manusia tanpa maksud mencari dan memulihkan hakikat universalnya.
Wittgeinsten menolak fungsi bahasa sebagai deskripsi dunia, seolah-olah dunia berada di luar bahasa. Menurutnya bahasa menciptakan dunia, dan sejarah merupakan perubahan semena-mena language game yang satu ke yang lain, sehingga kenyataan juga berubah menurut perubahan language game itu.
Rrtry menolak kosa kata akhir yang dipakai tolak ukur bagi kebenaran language game, sebab tak seorang pun memiliki sudut pandang yang mengatasi sejarah, sebagaimana telah dikira telah dimiliki oleh para humanis yang yakin telah melihat kemanusiaan lebih hakiki daripada orang lain. kita berada di dalam language game dan mendunia di dalamnya, maka bagaimana kemanusiaan dimengerti juga tergantung pada kontingensi bahasa. Menurut Rorty, penemuan akal sebagai hakikat manusia dalam humanisme tidak lain dari penemuan bahasa baru atau metafora baru yang juga akan berubah dengan ditemukannya metafora lain.
Lebih lanjut Rorty mengatakan bahwa semakin kita masih meyakini adanya inti dri atau manusia dengan huruf M besar, keyakinan itu justru akan menghalangi solidaritas kita dengan orang lain. Menurut Rorty, solidaritas kemanusiaan tidak perlu dirumuskan secara metafisis, melainkan dialami secara sentimental, yaitu suatu kemampuan untuk mengabaikan perbadaan-perbadaan suku, agama, ras, adat, dan lainnya karena mampu melihat dan ikut merasakan kesamaan-kesamaan dalam penderitaan dan pelecehan yang dialami orang lain. Kemampuan sentimental inilah yang membuat orang-orang di seberang lautan, juga termasuk kita.
Luhmann memahami masyarakat bukan sebagai bagian masyarakat melainkan sebagai bagian lingkungan masyarakat. Dalam teori sistemnya, yang termasyhur adalah distingsi antara sistem (system) dengan lingkungan (unwelt). Sistem selalu merupakan reduksi kompleksitas, maka lingkungan lebih komplkeks daripada sistem. Masyarakat adalah suatu sistem, sistem komunikansi. Dari sini ada dua hal yang perlu dicatat. Pertama, manusia tidak lagi dipahami sebagai pusat masyarakat karena ia adalah sistem psikis sehingga tidak memiliki kedudukan istimewa di atas sistem-sistem lainnya, melainkan sederajat dengan mereka. Kedua, desentralisasi subyek tidak berarti juga memahami manusia bukan sebagai kesadaran atau rasionalitas belaka sebagaimana dianut oleh humanisme. Manusia sebagai individu adalah semacam ‘masyarakat’ yang terdiri atas banyak sistem di dalamnya. Karena itu humanisme yang menentukan kemanusiaan pada rasionalitasnya adalah musuh berbahaya bagi kemajemukan.
Sebuah Tawaran: Humanisme Lentur
Dapatkah kita berbicara tentang kemanusiaan, sesudah humanisme (modern) ditelanjangi motif-motif metafisik di dalamnya oleh para filosof posmodern? Apakah yang dapat kita cari sesudah humanisme? Sebenarnya, ketika kita berbicara tentang humanisme, kita akan menemukan dua wajah atau aspek dari humanisme. Pertama, kekuatan kritis-humanismenya yang mampu menelanjangi kekuatan-kekuatan asing yang menindas manusia dan kemanusiaannya. Kedua, bukan sesuatu yang normatif, melainkan faktual—adalah kenyataan bahwa kenyataan bahwa humanisme adalah bagaimanapun sebuah ‘isme’, dan sebagai ‘isme’ ia dapat dilambungkan menjadi sebuah metafisika kemanusiaan yang tidak hanya menjadi total, melainkan juga menjadi ‘kebenaran kaku’ yang eksklusivistis dan hegemonial.
Yang dapat kita terima di sini adalah aspek kritis dan normatif humanisme yang bagaikan ‘roh’ senantiasa waspada terhadap berbagai bentuk hegemoni, tidak hanya dari agama, melainkan juga dari sains dan filsafat, yang menindas manusia dan bakat-bakat kodratinya yang tumbuh dari akalnya, rasa perasaannya, dan juga naluri-nalurinya.
Kritik-kritik humanisme dari orang-orang yang kita bahasa di atas telah membantu kita membongkar bahaya homogenisasi yang dibawa oleh metafisika kemanusiaan. Bagi mereka, humanisme bersifat teoritis karena menindas kemajemukan. Akan tetapi kita menganggap keharusan untuk sepenuhnya menghentikan humanisme sebagai berlebihan.
Yang dimaksud dengan humanisme lentur---sebagai solusi yang anda berikan dalam buku ini---adalah suatu humanisme tanpa metafisika kemanusiaan. Versi ini tidak bertanya ukuran-ukuran manakah yang harus kita terapkan agar seseorang atau suatu kelompok termasuk ke dalam kemanusiaan kita, yaitu orang-orang seperti kita. yang menjadi pertanyaan, sebaliknya, bagaimana mencapai titik temu berbagai ukuran yang dimiliki oleh berbagai orang atau kelompok sehingga kita dan mereka dapat mengantisipasi kemanusiaan yang akan datang.
Ada dua hal yang menandai humanisme lentur. Pertama, kelenturannya menyatakan keyakinannya bahwa universalitas kemanusiaan itu mungkin, bukan sebagai ukuran yang ditetapkan sebelumnya secara monologal, melainkan sebagai suatu visi yang diperjuangkan secara dialogal. Kedua, kelenturannya juga menyatakan tidak hanya keyakinannya akan potensi epistemis agama-agama yang dapat bertumpang tindih dengan kebenaran-kebenaran yang dicari dalam filsafat dan sains, melainkan juga respeknya pada batas-batas antara iman religius dan rasionalitas. seorang humanis yang berhasil menolak metafisika kemanusiaan akan menerima religius sebagai salah satu hidupnya tanpa terjerumus dalam fideisme. Dia beriman dengan mencari pengertian, dan mengerti tanpa menghalau keyakinan. Itu juga berarti bahwa keyakinan membantunya untuk mengerti. Jadi dia yakin untuk mengerti, dan bukan sekedar yakin untuk mengerti. Ia menginsafi bahwa “Tuhan tidak dapat ditemukan dalam mikroskop penelitian empiris dan bahwa berbicara tentang Tuhan secara obyektif adalah mustahil, sebab tuhan bukan obyek. Yang dipersoalkan oleh humanisme lentur bukanlah nalar itu sendiri, melainkan kepongahan nalar’ yang diidap oleh pencerahan Eropa. Tugas akal bagi seorang humanis pasca-metafisiska kemanusiaan adalah menunjukkan bahwa manusia terbuka terhadap sesuatu yang melampaui dunia ini, dan ini dilakukan tanpa menyangkal keduniawian manusia.
Bagi seorang humanis, kebebasan diraih bukan dengan menyingkirkan Tuhan dari kesadarannya, karena justru misterinya memberi ruang untuk kebebasan—melainkan keinsafan akan kontingensi hidupnya yang dapat ia sadari dalam hubungannya dengan yang absolut. Kebebasan tidak lagi dimengerti dalam kosa-kata filsafat subyek, seolah manusia adalah pusat yang menentukan segalanya dan menciptakan segalanya. kebebasan, sebaliknya, dipahami sebagai kemungkinan untuk melampaui diri, sebagai keberanian untuk menghayati misteri, sebagai kemampuan untuk memberi. dengan bersikap moderat terhadap akal, kebebasan, dan iman, humanisme yang tanpa narsisme dan triufalisme yang kita bela di sini menemukan kembali makna kemanusiaawian di antara puing-puing metafisika kemanusiaan.
Sesudah humanisme berarti bahwa dewasa ini gagasan besar tentang humanisme perlu ditinjau ulang dan dibebaskan dari metafisika kemanusiaan yang bercokol di dalamnya. Tragedi kemanusiaan yang telah terjadi di tempat-tempat itu menyingkap bagaimana kemanusiaan tanpa Tuhan, yaitu keadaan ketika manusia bermain sebagai Tuhan, berakhir pada kemanusiaan tanpa manusia, yaitu keadaan ketika manusia konkret dianggap berlebihan di hadapan konsep abstrak kemanusiaan. Ketika manusia menjadi ukuran bagi setiap sesuatu, oleh pikiran manusia sendiri, kemanusiaan berubah menjadi suatu instansi abstrak yang tidak tertanggungkan oleh manusia konkret.
Jadi, humanisme pada zaman ini dapat maknai sebagai. Pertama, dari aspek negatif-kritisnya—yakni melanjutkan peran klasiknya—yaitu berjuang untuk menilai, melawan, atau mencegah suatu perbuatan atau peristiwa yang di dalamnya manusia atau kemanusiaan dilecehkan, ditindas, atau diabaikan. Dalam buku-buku puritan di antara agama atau di antara pandangan dunia sekuler, seorang disebut humanis bila ia membela martabat manusia yang di semua kubu telah dilecehkan sebagai alat-alat ideologis semata. Kedua, pada aspek-konstruktifnya, melanjutkan pencarian kebenaran dengan mendialogkan kembali iman religius dengan nalar sekuler. Blaise Pascal mencoba menguak hubungan iman dengan nalar dengan cara yang khas “ jika kita menyerahkan segalanya kepada nalar” begitu tulisnya dalam pensees “agama kita tidak akan memiliki unsur misterius dan supranatural. jika kita menyerang asas-asas nalar, agama kita akan menjadi absurd dan menggelikan.” agama mengandung potensi kebenaran yang tidak dimiliki lagi bila semua direduksi ke dalam rasionalitas belaka, sementara rasionalitas membuat agama dan pengalaman otentik di dalamnya terhubung secara komunikatif dengan nalar bersama umat manusia.
***
Demikian yang dapat saya rangkuman dari buku anda itu. Sebagaimana kata Goenawan Muhammad, tulisan anda jernih, sehingga sulit bagi saya untuk merangkai kata-kata saya sendiri untuk menjelaskan isi dari buku anda itu. Tulisan anda lebih kuat dari pemahaman saya sendiri. Oleh karena itu, dalam catatan ini, saya hanya mengutip kata-kata anda dan menambahkan sedikit untuk menyambungkan kutipan-kutipan tulisan anda yang saya potong. Namun, saya sadar, apa yang saya lakukan, bersifat reduksi. Dan dengan apa yang saya lakukan di atas, saya tidak menganggapnya sebagai representasi dari isi buku anda. Sebaliknya, tidak lain adalah representasi dari pemahaman saya sendiri.
hitung waris
1 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar