Baju

Sam tidak menyangka kekasihnya akan senekat itu. Dikiranya hanya menggertak saja. Seperti yang biasa terjadi. Tapi setelah Sam melihat dengan mata kepalanya sendiri di layar tv yang ditontonnya saat ia sedang makan di warung, Sam jadi waswas. Ya. Saat ini, kekasihnya berada di puncak gedung sebuah pusat perbelanjaan. Tanpa sempat minum, Sam meletakkan uang makannya di atas meja, lalu keluar dan langsung berlari menuju tempat di mana kekasihnya itu berada. Baru saja mereka berdua berpisah. Memang, mereka sempat bertengkar. Tapi Sam menganggap hal itu biasa. Seperti pertengkaran-pertengkaran lain yang sudah-sudah. Akan mereda beberapa saat kemudian. Mungkin, karena tingkat emosi kekasihnya kali ini lebih tinggi, maka responsnya pun berlebihan.

Persoalannya biasa: sang pacar minta dibelikan baju, tapi Sam tidak menurutinya.

“Minggu depan saja, Sayang. Pasti aku belikan. Ya? Kalau sekarang, aku belum punya duit. Lebih baik kita makan dulu. Kau pasti belum makan? Aku sudah lapar sekali” Kata Sam pada pacarnya yang lagi merajuk.

“Tidak bisa. Pokoknya, kau harus membelikannya hari ini juga. Bukankah hari ini hari Valentin, Yang. Sebagai laki-laki, kau harus buktikan cintamu padaku! Kau harus mau berkorban. Aku mau baju itu. Kau harus membelikannya untukku. Tidak ada tawar menawar lagi. Harus. Titik.”

“Ah, jangan marah begitu, Yang. Aku kan sudah janji akan membelikannya untukmu. Tapi jangan sekarang. Ya? Minggu depan saja. Aku janji akan membelikan baju baru untukmu, bahkan yang lebih bagus dari itu”

“Tidak bisa. Aku ingin hari ini menjadi hari spesial bagiku”

Sam sudah mulai kesal. Ia belum makan sejak tadi malam. Rasa lapar itu membuatnya agak emosi “Spesial? Bukankah kau pernah berkata bahwa bila bersamaku semua yang biasa akan menjadi spesial? Kau sudah lupa?”

“Ya. Ini akan menjadi sesuatu yang lebih spesial. Spesial dari yang spesial!”

Sam yang kini berdua depan toko baju melirik baju yang diminta kekasihnya. Memang baju itu sangat indah, tapi... Sam menghela nafas dengan berat, lalu berkata pada kekasihnya, “sudahlah, Yang. Aku letih. Aku tidak akan membelikannya. Kalau kau tetap memaksa. Aku tidak akan pernah membelikannya untukmu.”

“Jadi kau tidak mau ya. Baiklah aku akan bunuh diri. Kau akan menyesal dan bersalah kalau aku mati nanti. Kau akan mendengar berita seorang gadis bunuh diri gara-gara minta dibelikan baju yang tidak begitu mahal tapi tidak dibelikan oleh pacarnya”

“Kau mau melucu, Yang? Terserah. Kau mau bunuh diri? Terserah. Lakukan. Aku tidak peduli”

“O. Jadi kau menantangku. Aku bisa lakukan apapun jika aku marah. Apalagi ini masalah cinta, aku tidak main-main.”

“Terserah kau!”

Demikian kejadian sebelumnya. Sam masih mengingatnya dengan jelas. Mereka bertengkar karena sehelai baju. Sam berlari secepat mungkin. Di luar gedung, sudah banyak orang berkumpul. Mereka melihat dari bawah gedung. Sementara polisi sudah menggelar semacam parasit, siap menangkap gadis yang mencoba bunuh diri itu bila nanti ia terjun.

“Minggir... Minggir... Saya pacarnya... Saya pacar gadis itu. Tolong minggir. Biarkan saya masuk..” Sam terus menerobos kerumunan orang. Menerobos sekelompok polisi yang berjaga-jaga di depan pintu. Kemudian ia mencari toko yang tadi mereka kunjungi bersama. Tanpa basa-basi Sam menyambar baju itu dan langsung menuju tangga mol. Sam terus berjalan secepat mungkin. Berlari, berlari, dan berlari dengan tergesa-gesa.

***
Di atas loteng, telah ada dua polisi dan seorang wanita yang berusaha membujuk gadis itu untuk turun. Sam berlari bergabung dengan mereka.

Perlahan ia maju ke depan, menghampiri kekasihnya “Sayang, apa yang kau lakukan! Maafkan aku. Jangan lakukan hal bodoh itu. Aku minta maaf. Oh, Ya, ini, Yang, sudah kubelikan  apa yang kau minta. Turunlah. Nanti kau bisa jatuh. Kalau kau jatuh, siapa yang akan memakai baju ini?”

“Tidak. Sudah terlambat. Aku tidak akan menarik kata-kataku”

“Sayang, kau tidak kasihan padaku. Kalau kau mati, hidupku akan hancur. Ya, Yang. Tanpa mu aku tak ada artinya di sini. Aku takut kehilanganmu. Turunlah. Kau sangat berarti bagiku”

“Benarkah?”

“Ya. Sungguh”

“Kalau aku sangat berarti bagimu mengapa untuk membelikan baju itu kau menolaknya? Bukankah aku lebih berarti dari apapun, termasuk uangmu. Kau sudah bohong, Sam”

“Haruskah kukatakan, bahwa yang sebenarnya bukan karena uang? Haruskah kukatakan bahwa baju ini terlalu seksi untuk kau pakai? Ya. Aku telah berbohong. Aku sanggup membeli baju yang kau pinta itu lebih dari satu. Tapi aku takut kalau kau memakainya, aku bisa cemburu. Lihatlah, baju ini sangat seksi dan terlihat transparan! Kalau kau memakainya akan banyak mata yang memandangimu dengan pandangan yang tidak sopan, Sayang. Lain lagi bila di antara mereka berniat berbuat jahat padamu nanti, Sayang. Aku berniat Minggu depan aku akan membelikan baju yang lebih mahal dari ini. Meski tidak seksi, tapi lebih berkualitas, lebih modis dan kau akan tampak indah dan cantik memakainya, Sayang. Tapi kalau mau yang ini, aku menyerah. Kau boleh memilikinya. Tapi turunlah. Kumohon jangan...”

Belum sampai Sam menyelesaikan kata-katanya, kekasihnya berlari dan memeluknya “Sudah. Sudah. Sudah. Cukup. Aku mengerti. Maafkan aku.”

Siang itu udara sangat panas. Namun entah datangnya dari mana, angin tiba-tiba bertiup kencang. Baju yang digenggam Sam terlepas. Melayang tersapu angin. Melewati tempat di mana kekasihnya tadi berdiri.  Melayang dan jatuh turun bersemilir ke bawah, ke arah kerumunan orang yang berdiri depan gedung yang sedang menonton mereka dari bawah. Ya. Baju itu turun, jatuh, dan merebah di atas topi seorang polisi.

0 komentar:

Posting Komentar