My Diary

Maafkan aku, Diary. Sudah lama aku tidak membukamu, mencari halaman kertasmu yang putih dan kosong itu, lalu mengisinya dengan kata-kata. Kau tentu tahu, kini aku aktif menulis di Face Book, juga di Blog. Dan karena itulah aku ingin minta maaf padamu. Sibuk menulis di blog dan merasa asyik di situ, membuatku mulai mengindahkanmu. Akhirnya aku juga punya pikiran begini: apakah aku masih perlu menulis catatan harian padamu? Bukankah aku lebih untung menulis di FB, di Blog? Tema yang kubahas di blog, bukan tema yang remeh-temeh seperti catatan harian. Kata-kata yang kurangkai, juga sudah kukoreksi dan kuseriusi sedemikian rupa hingga tampak rapi dan enak dibaca. Sementara catatan harian yang isinya masalah kecil sehari-hari, yang dalam penulisannya tak ada koreksi, bahkan ada yang kutulis asal-asalan, bukankah hal itu hanya buang-buang waktu? Ya. Aku ingin menyudahi menulis catatan harian padamu, dan hanya menulis, di FB, juga di Blog. Akan tetapi, setelah kurenung-renungi kembali berkali-kali, apa yang kupikirkan tentangmu dan aktivitas menulisku catatan harian ini, tidaklah benar. Sebaliknya, aku pun berpikir, kalau aku tidak menulis catatan harian, tentu akan banyak kerugian yang aku dapatkan.

Inilah hasil renungan tentangmu itu.

Kau adalah wadah tampung tulisanku yang sederhana. Sebuah buku tulis yang kubeli seharga belasan ribu di toko. Dengan bentukmu yang sederhana dan tulisanku yang sederhana pula, ditambah keberadaanmu yang tak boleh dibaca orang, aku tidak akan menjadi orang terkenal. Sementara di FB dan di Blog, kau tahu, tulisanku dapat diakses dengan bebas oleh siapa saja di sana. Tulisan-tulisan yang aku kirimkan adalah tulisan yang dapat dinikmati bersama, tema-temanya menarik, dan bukan suatu hal yang sangat pribadi. Dan aku punya harapan dengan tulisan-tulisan itu. Bayanganku, apabila yang aku tulis itu bagus, siapa tahu akan ada yang melirik sambil berminat untuk menerbitkan tulisan-tulisanku itu dalam bentuk buku. Ya, menulis di di FB atau Blog lebih menjanjikan mewujudkanku diakui sebagai penulis daripada menulis catatan harian.

Akan tetapi, setelah kupikir-pikir kembali, aku salah, Diary. Kalau aku berpikiran demikian, berarti aku menulis hanya untuk popularitas, bahwa aku menulis hanya ingin menjadi terkenal. Tidak! Aku tidak ingin menulis karena untuk itu. Kau memang tidak dapat membuatku populer atau terkenal, tapi kau membuatku berarti. Membuat aku berarti dalam hidup. Di dunia ini. Kau tahu, kini, aku tidak peduli dengan catatanku yang sederhana di kertasmu, yang boleh jadi isinya tak berarti bagi orang lain, yang penulisannya banyak kesalahan di sana-sini, yang tata bahasanya tak nyaman dibaca, yang logikanya ganjil dan bodoh, yang bentuk tulisan tanganku tak bagus. Sebab justru dengan kesederhanaan itulah, kau begitu berarti. Tulisanku yang sederhana dan bahkan tidak penting lagi jelek, telah banyak mengajariku banyak hal tentang hidup. Bagaimana seandainya aku berhenti menulis catatan harian? Tentu akan banyak hal yang terlewatkan dalam hidup yang itu tidak kurenungkan. Menulis catatan harian sering membuatku mendapatkan pencerahan hidup. Banyak persoalan hidup yang rumit justru jawabannya kudapatkan darimu. Rekaman peristiwa sehari-hari yang banal menjadi sesuatu yang menakjubkan apabila aku menuliskannya di kertasmu. Dengan adanya kau, aku pun menjadi orang yang peka terhadap diriku sendiri dan sekitarku. Lalu, bagaimana seandainya aku menyudahimu?

Demi popularitas, demi keinginan untuk dikenal dan terkenal, aku rela meninggalkanmu! Tidak, Diary. Mulai hari ini, aku tidak akan lagi melupakanmu dan tak akan berhenti menulis catatan harian. Kau memang sederhana, tapi kau membuatku berarti. Darimu aku belajar, seperti yang dikatakan oleh Ernes Hemingway, sastrawan asal Amerika peraih Nobel itu “Untuk selalu bekerja dan berkarya, tanpa berharap tepuk tangan orang lain”

0 komentar:

Posting Komentar