Kalau tidak salah, aku telah membaca bukumu Tahqiq al-Wishal Byn nal-Qalb wa al-Qur’an yang diterjemahkan ke dalam bahasa negeriku berjudul Agar al-Qur’an Menjadi Teman; Rahasia Menghayati Kitab Suci untuk Perubahan Diri ini setahun yang lalu. Dan baru kali ini aku bisa menulis tentang kitab itu. Membaca kitabmu, Majdi al-Hilali, aku seperti membaca diriku sendiri, tentang kegelisahanku sebagai umat Islam yang terkesan memperlakukan kitab sucinya tidak semestinya.
Aku masih ingat kata-katamu bahwa sedikit dari kita umat Islam mencurahkan waktu menghiasi mushaf al-Qur’an daripada menghiasi diri kita dengan al-Qur’an. Hanya sedikit dari kita yang mendekati al-Qur’an dengan semangat merenungkan dan meningkatkan iman. Kita menganggap bahwa hal terpenting, terkait dengan al-Qur’an, adalah hanya membacanya saja—tak peduli paham atau tidak— dan mengerahkan upaya untuk menghafalnya sesingkat mungkin. Dengan perlakuan kita seperti itu maka Al-Qur’an, katamu, kian merana dan terasing; ia datang tapi hilang, ada tapi tak ada. Ia hadir dalam wujud di lidah, tapi ruh dan cahayanya raib di hati. Ia tidak memiliki ruh positif dan denyut spiritual. Kalimatnya dicetak di kertas, disiarkan, diajarkan dan dilombakan, tapi kandungan maknanya terabaikan, daya pengaruhnya bagi jiwa tak dapat kita rasakan, dan daya ubahnya bagi moralitas tak bisa kita peroleh.
Kau tidak salah, al-Hilali. Di kampungku, al-Qur’an sering kali dibaca pada acara-acara dan hajatan tertentu. Tujuannya adalah pahala membaca al-Qur’an itu sendiri dan doa semoga hajat dapat terpenuhi. Jika ada orang hendak menikah, maka agar pernikahannya lancar, diadakanlah khatamul Qur’an, begitu juga sehabis membangun rumah, gedung pertokoan, sekolah dan lain-lain, tujuannya adalah agar gedung-gedung itu tidak membawa mudharat bagi penghuninya dan juga mengusir jin yang bersarang di gedung-gedung itu. Selama atau pada 40 hari orang meninggal kami akan membaca khatamul Qur’an, tujuannya pahala membaca al-Qur’an kami dapat kami shadaqahkan kepada al-marhum/al-marhumah yang telah wafat sehingga pahala-pahala tersebut dapat meringankan beban bagi si mayyit di alam baru mereka. Tidak hanya itu, pada acara-acara besar seperti Maulid Nabi, Isra’ Mi’raj, pada bulan Ramadaha,10 hari setelah lebaran, dan hari-hari besar lainnya, masjid kampung kami akan mengadakan khatimul Qur’an. Orang-orang akan datang membawa kertas yang berisikan nama-nama keluarga mereka yang telah wafat agar supaya pahala membaca al-Qur’an kami itu dialamatkan kepada mereka, dan pasti mereka membawa uang. Meski memang uang itu dimaksudkan untuk sumbangan pembangunan masjid, tapi ada kesan untuk membayar nama-nama keluarga mereka. Begitulah, al-Hilali, aku terlibat dengan al-Qur’an di kampungku. Suasana seperti itu, sungguh berbeda saat aku berada di lingkungan akademik, saat aku terlibat dengan al-Qur’an untuk memahami dan menghayati kandungannya.
Seperti katamu, al- Hilali, kebanyakan dari kita, membaca al-Qur’an tanpa penghayatan. Kita akrab dengan al-Qur’an hanya sebatas di lidah tapi tidak meneruskannya ke hati. Mulut mengucap tapi hati tak tergerak, pikiran kita diamkan. Kita hanya mengulang-ulang kalimat. Melagukan al-Qur’an yang versinya kian banyak. Begitulah kebanyakan dari kita saat membaca al-Qur’an. Seperti ada jarak antara kita dengan al-Qura’n. Kita tidak bisa menjadi pembaca yang terpengaruh oleh bacaannya dan berubah menjadi lebih baik karenanya. Kita kehilangan sisi terpenting al-Qur’an, yakni “petunjuk”. Padahal dalam al-Qur’an, jelas sekali gunanya al-Qur’an diturunkan. Seperti dalam surat Maidah 15-16, Allah berfirman Wahai ahli kitab, sesungguhnya telah datang padamu Rasul kami, ia menerangkan padamu banyak isi Al Kitab yang kamu sembunyikan dan kamu biarkan. Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan Kitab penjelas sesuatu. Dengan Kitab Itu Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan Kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang atas izin-Nya, dan menunjukkan mereka jalan yang lurus.
Dari ayat di atas, katamu, sudah jelas maksud Allah menurunkan al-Qur’an. Lalu, mengapa kita masih tidak mengamalkannya? Mengapa kita masih membaca al-Qur’an dan tidak berusaha memperoleh petunjuk darinya? Itulah pertanyaan penting yang menjadi kegelisahanmu selama ini, yang menjadi alasan utamamu untuk mengarang kitab ini. Alhasil, setelah mencoba mendiagnosa penyakit ini, mencari tahu apa sebenarnya akar masalahnya, kau akhirnya menemukan beberapa faktor penyebab enggannya kita untuk menghayati al-Qur’an ketika kita membacanya.
Pertama, enggan karena kita mewarisi citra yang kurang baik dari nenek moyang kita tentang al-Qur’an. Sejak kecil, katamu, kita ditunjukkan bahkan juga mungkin dilibatkan dalam kegiatan mereka dengan al-Qur’an. Kita melihat al-Qur’an sering dibaca di sisi orang yang merenggang nyawa hampir meninggal, atau ketika berziarah kubur, dan memohon berkah untuk kesembuhan orang sakit. Kitab yang disucikan kertas-kertasnya itu, dicium, dijadikan pembukaan berbagai acara, ditulis sebagai kaligrafi lalu digantung atau dicetak sebagai hiasan di ruang emas atau perak. Semua itu kita terima begitu saja seakan-akan memang begitulah semestinya ia diperlakukan, dan itu sudah sejak dulu, sejak ia diturunkan.
Barangkali di antara kita ketika beranjak dewasa pernah sesekali mempertanyakan hal itu. Bertanya-tanya apakah al-Qur’an diturunkan untuk dibaca seperti itu, tanpa perenungan. Apakah al-Qur’an diturunkan untuk dibacakan pada orang lain, untuk acara-acara seremonial. Sehingga dalam benak kita ketika mendengar kata “membaca al-Qur’an”, maknanya bukan membaca dalam arti memahami yang manfaatnya dapat kita petik sendiri, melainkan membacakan untuk orang lain. Atau yang tercetus dalam pikiran adalah mengeja deretan huruf dengan benar serta melagukannya dengan indah. Apa yang dimaksud dengan membaca adalah “mengeja kata”. Mungkin kita pernah menyadari hal itu. Namun, kemudian kesadaran itu tenggelam karena kita tidak bisa berbuat apa-apa sementara dorongan dari lingkungan kita begitu kuat. Kebiasaan yang mengakar kuat mengalahkan daya kritis kita. Kita larut dan ikut dalam kenikmatan itu. Kita pun akhirnya ikut merasa cukup membaca al-Qur’an dengan tartil sambil melagukannya dengan lagu-lagu tertentu. Dan lagu itu menjadi terbiasa di telinga kita hingga kita lupa memperhatikan maknanya. Kita pun merasa tergugah oleh al-Qur’an dan merasa terpengaruh olehnya, tanpa menyadari bahwa kita terpengaruh oleh karena lagu al-Qur’annya, bukan (kandungan) al-Qur’an.
Kedua, enggan karena melupakan tujuan al-Qur’an. Tidak ada satu pun, baik dari al-Qur’an sendiri maupun dari hadis nabi yang menyatakan bahwa al-Qur’an diturunkan untuk dibaca. Tujuan al-Qur’an, katamu, bukan untuk dibaca, tapi untuk diamalkan. Tujuan al-Qur’an diturunkan adalah sebagai petunjuk (hidayah) jalan kebaikan bagi diri manusia di dunia dan akhirat. Sebagaimana pernyataan al-Qur’an sendiri dalam surat Yunus:57 “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.”
Mengenai hal ini, kau kutip perkataan Ibn Mas’ud “al-Qur’an adalah jamuan Allah. Pelajarilah ia sesuai dengan kemampuan. Ia adalah agama Allah, petunjuk yang jelas, obat jiwa, pelindung bagi orang yang berpegang teguh, penyelamat bagi yang mengikutinya; yang bengkok akan diluruskan, yang menyimpang akan ditegur... ketakjuban terhadapnya tak pernah habis... tak usang meski diulang-ulang... Bacalah ia.”
Begitu pula dengan al-Banna berkata “al-Qur’an diturunkan tidak untuk dijadikan azimat, tidak untuk dibaca di kuburan dan tempat perkumpulan, tidak untuk dibuat kaligrafi, tidak untuk dihafalkan. Ia diturunkan tidak untuk diabadikan dalam mushaf sementara isinya terabaikan. Ia diturunkan tidak untuk semua itu tapi agar menjadi petunjuk menuju kebaikan dan kebahagiaan. Al-Qur’an diturunkan bukan semata-mata untuk dibaca dan didapatkan berkahnya. Sebab ia sendiri adalah kitab yang diberkahi. Dan berkah paling besar darinya adalah merenungkan dan memahami maknanya serta mengamalkan isinya dalam kehidupan.
Hidayah atau petunjuk yang menjadi tujuan pokok al-Qur’an tidak bisa diperoleh hanya dengan melafalkannya saja, seseorang butuh memahami dan merenunginya maknanya. Maka, memahami dan merenungi menjadi sesuatu yang sangat penting yang tidak dapat dipisahkan dalam aktivitas membaca. Membaca al-Qur’an semata mencari berkah dan berpikir cukup dengan mengulang-ulangi pembacaan tanpa harus memahami maknanya dan menganggap hal itu sudah dapat memberi manfaat, anggapan seperti ini sungguh bertentangan dengan pernyataan al-Qur’an sendiri tentang keberkahannya yang harus diiringi dengan merenungi maknanya. Dalam surat Shad: 29 disebutkan “Ini adalah Kitab yang kami turunkan padamu dengan penuh berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatNya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.
Orang yang melakukan hal di atas, yakni mereka yang membaca al-Qur’an guna dipetik manfaatnya dengan memahami kandungannya dan mampu mengamalkannya, pantas di sebut sebagai ahl al-Qur’an. Sebagaimana dikatakan Ibn Taimiyah, katamu, “tujuan al-Qur’an diturunkan adalah untuk diamalkan. Siapa yang mengamalkan al-Qur’an maka ia pantas disebut ahli al-Qur’an. Orang yang membacanya dituntut untuk memahaminya. Oleh karena itulah Allah memerintahkan kita membacanya secara tartil dan tidak tergesa-gesa, sehingga pemahamannya memancar dalam lubuk dan jejak-jejak keimanan akan muncul dalam perilaku”
Ibn Qayyim pun juga sependapat dengan hal itu bahwa yang dimaksud dengan ahlul Qur’an adalah mereka yang mengetahui dan mengamalkan al-Qur’an, meskipun mereka tidak menghafal ayat atau suratnya. Orang yang hafal al-Qur’an tetapi tidak memahami dan mengamalkan isinya, sama sekali tidak mempunyai hak untuk disebut ahlul al-Qur’an.
Salah satu hal yang perlu dicatat, demikian katamu, adalah bahwa Nabi tidak pernah mempersoalkan dengan sangat serius mengenai bacaan al-Qur’an. Beliau tidak menyalahkan model-model bacaan para sahabat. Ini menunjukkan bahwa hal terpenting dari membaca al-Qur’an bukanlah pelafalannya, melainkan kandungannya. Perhatian berlebihan terhadap cara baca huruf al-Qur’an bukan termasuk hal yang pernah dicontoh oleh Nabi. Bahkan terlalu hati-hati dalam pelafalan bacaan tajwid al-Qur’an bisa menghambat seseorang untuk merenungi al-Qur’an. Ini menurut Imam Ghazali, kata beliau “di antara cara setan menjadikan orang tidak memedulikan kandungan al-Qur’an adalah membuat mereka menekuni secara berlebihan tata cara baca al-Qur’an. Setan selalu membisikkan bahwa mereka salah membaca huruf-huruf. Jika sudah begitu mereka tidak punya waktu untuk mengungkap pandangan al-Qur’an”
Ketiga, enggan karena minder memahami al-Qur’an. Sebagian orang, katamu, minder untuk berusaha memahami al-Qur’an dengan pikirannya. Kita segan memahaminya secara langsung tanpa bantuan kitab tafsir, untuk mengetahui makna kata dan ayat. Tapi justru sikap seperti itu menurut Ibn Taimiyah menghambat orang untuk memahami al-Qur’an.
Salah satu penyebab rasa minder itu adalah kita terlalu percaya pada sebuah anggapan bahwa memahami al-Qur’an harus mendalam dan mendetail. Beberapa orang yang bermaksud memetik al-Qur’an merasa harus berhenti pada setiap kata untuk memahami maknanya dan mendalami isinya. Sehingga mereka mampu membaca beberapa ayat saja, kemudian cape, lalu berhenti. Cara membaca seperti ini memang memperkaya pemahaman dan menambah keimanan. Tapi juga bisa membuat jenuh dan bosan. Tidak ada keharusan untuk tahu secara mendetail dalam memahami al-Qur’an. Memahami secara garis besarnya, yakni mengetahui pesan moral dari ayat-ayat yang kita baca sudah cukup.
Ibn Masud pernah berkata “jangan berbuat bid’ah, jangan memaksa diri membaca al-Qur’an secara fsih, jangan memaksa diri memahami al-Qur’an secara mendalam. Jangan memaksa diri. Lakukan semampu kalian.”
Mendengar pendapatmu ini, al-Hilali, aku seolah tertampar. Aku merasa kau benar sekali. Kadang aku merasa, sebagai lulusan sarjana Tafsir dan Hadis, terlalu khawatir saat ditanya mengenai isi kandungan al-Qur’an. Aku takut salah memahaminya. Aku yakin tidak hanya aku saja yang merasakan hal ini. Aku yakin tidak sedikit kawan-kawanku dari sarjana-sarjana Tafsir dan Hadis. Namun, aku tidak dapat menyangkalnya, bahwa sedikit dari kami yang menulis tentang al-Qur’an, yakni menafsirkannya. Kami lebih banyak menjadi pengamat daripada praktisi tafsir, padahal kau tahu, kamilah yang tahu banyak tentang teori-teori penafsiran, tentang sejarah al-Qur’an, dan isinya. Dan aku merasa ada kesamaan antara jurusan Tafsir dan Hadis dengan jurusan Sastra. Kebanyakan orang yang masuk jurusan sastra, keluarnya mereka tidak jadi sastrawan melainkan pengamat sastra. Mengapa bisa begitu? Dan aku merasa kau benar, al-Hilali, semakin kita tahu semakin kita takut dan hati-hati. Tapi apakah sikap seperti itu benar?
Keempat, enggan karena memburu pahala. Anggapan bahwa al-Qur’an hanyalah sumber pahala dan keberkahan, harus diluruskan. Sudah umum dipahami bahwa membaca satu huruf al-Qur’an bernilai sepuluh kebaikan. Dari pemahaman seperti itu banyak orang yang enggan merenungkan al-Qur’an. Mereka lebih memilih berlomba-lomba mengkhatamkan sebanyak dan secepat mungkin. Khususnya pada bulan Ramadhan. Jadi membaca bukan lagi menjadi sarana untuk memahami al-Qur’an melainkan telah menjadi tujuan sendiri. Itulah kesalahan kita selama ini, katamu.
Kelima, enggan karena menghafal al-Qur’an. Yang membuat para penghafal tak merenungi al-Qur’an dan mengambil manfaat hakiki darinya adalah ambisi mereka menjaga hafalan mereka. Seolah-olah menghafal adalah tujuan al-Qur’an diturunkan. Padahal menghafal adalah satu cara untuk memudahkan mereka memetik manfaat al-Qur’an, selain berdoa dengannya di manapun tanpa tergantung mushaf.
Imam M. Ghazali, seperti yang kau kutip, berkata “aku sudah menghafal al-Qur’an pada usia sepuluh tahun. Namun hafalan itu membuatku tidak memedulikan maknanya. Sampai aku dewasa, menghafal al-Qur’an tanpa memahami maknanya, aku pun tumbuh tanpa memahami apa-apa. Proses menghafal membuang waktuku untuk merenungi al-Qur’an. Dan aku tidak ingin mengulanginya lagi”
Keenam, enggan karena mempunyai penyakit hati, merasa berdosa, kotor dan tak pantas membaca al-Qur’an yang suci. Anggapan ini keliru, katamu. Mereka yang beranggapan demikian merasa harus membersihkan diri lebih dulu sebelum mendekati al-Qur’an. Setelah berusaha mendekatkan diri, mereka ragu-ragu apakah sudah bersih belum. Mereka terombang-ambing. Sesungguhnya tidak perlu demikian. Sebab hal seperti itulah yang menjadi penghalang seseorang memetik manfaat dari al-Qur’an.
Salah satu fungsi penting al-Qur’an adalah sebagai obat jiwa. Sebagai obat ia diperuntukkan bagi yang sakit, bukan orang yang sehat. Jika ada yang menganggap tidak pantas mengkaji al-Qur’an karena merasa jiwa kotor, justru orang seperti itulah yang pantas melakukannya.
Kau tegaskan bahwa kau tidak bermaksud mengecilkan pengaruh maksiat dan penyakit hati dalam upaya memahami al-Qur’an dan menyerap nilai-nilai al-Qur’an. Dengan pendapat di atas, sebenarnya kau ingin mengatakan bahwa jiwa yang sakit pun, bisa diobati dengan al-Qur’an.
Demikianlah al-Hilali, kau menjelaskan mengenai foktor-faktor penghambat kita sebagai umat Islam dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an yang kita baca. Dan tidak sekedar itu, kau juga memberi solusi, semacam masukan bagaimana kita bisa memeti manfaat al-Qur’an. Kau tidak hanya mencari akar masalahnya tapi juga memberi tip-tip agar kita bisa memetik al-Qur’an:
1. Percaya dan yakin pada Al-Qur’an bahwa ia adalah petunjuk manusia ke jalan yang terang menuju kebahagiaan dunia dan akhirat.
2. Berdoa agar dimudahkan merenung dan memahami al-Qur’an dengan sungguh-sungguh.
3. Banyak membaca secara tartil (didengar tidak berbisik), dengan suara indah dan terang, disertai pemahaman. Katamu, tidak pernah Nabi menyuruh sahabatnya untuk membaca al-Qur’an secara cepat tanpa berusaha memahami, yang penting adalah pahala, tidak pernah. Satu-satunya contoh cara nabi terhadap al-Qur’an adalah membacanya dengan perenungan dan pemahaman.
4. Memahami suatu ayat secara umum. Tidak perlu mendetail. Tapi tangkap pesan moral dari ayat tersebut.
5. Menganggap al-Qur’an itu diturukan pada kita saat ini, untuk memberikan petunjuk kehidupan yang baik bagi diri kita.
6. Mengulang ayat-ayat yang berkesan di hati.
7. Tafsir bisa dibaca setelah selesai membaca al-Qur’an atau langsung kalau sudah mendesak.
Demikian sekelumit isi kitabmu itu. Aku terkesan. Kau begitu berani mengkritik kebiasaan cara baca al-Qur’an yang sudah kuat. Untuk kepentingan umat Islam sendiri. Tapi, al-Halili, kupikir, solusimu di atas bersifat individual sehingga pengaruhmu bersifat perorangan. Kita butuh perubahan skala besar, untuk perubahan berskala besar, kita butuh perubahan sistem, dan sistem yang kumaksud di sini, adalah pendidikan al-Qur’an selama ini, karena asal muasal kita mengenal al-Qur’an adalah lewat pendidikan. Bukan pendidikan formal semata, tapi pengajian-pengajian kecil. Ya, al-Halili, semestinya, menurutku, penanaman cara membaca al-Qur’an selama ini yang berbasis tajwid harus kita perbaharui lagi dengan membaca al-Qur’an berbasis penghayatan dan pemahaman.
hitung waris
1 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar