Kamar



Kamar tak selamanya tempat istirah. Kamar, disebut dalam bahasa Arab: ghurfah. Sebuah kata yang di antara kata jadiannya bermakna tempat belantara atau rimba. Saya tidak mengerti mengapa orang-orang Arab memakai kata itu. Akan tetapi, bagi orang yang suka menyendiri, merenung, bahkan mengkhayal seperti saya, kamar memiliki makna lain: sebuah dunia luas yang tidak berbatas. Di mana jiwa dan pikiran dapat berkelana ke mana saja.
                                   
Kamar saya tidak bagus, dan juga memprihatinkan. Bila hujan tiba, saya harus serba waspada. Air akan masuk seenaknya lewat sela-sela genteng yang terbuka, meresap ke permukaan atap, dan menetes ke lantai. Membanjiri kamar. Setelah beberapa bulan saya tinggalkan, salah satu atapnya runtuh. Buku-buku juga banyak yang basah, terkena rembesan air hujan. Udara kamar terasa sangat dingin dan lembab. Katanya, selama saya pergi, kamar itu ditempati kucing, bahkan sampai beranak-pinak.

Meski kini tampak menyedihkan, kamar yang rencananya akan direnovasi itu, menyimpan banyak kenangan mendalam. Di sanalah saya banyak menghabiskan waktu untuk membaca dan menulis. Berkenalan dengan banyak pemikir, filsuf, sufi dan tokoh-tokoh fiksi. Di sana pula saya dibawa ke mana-mana oleh buku bacaan saya. Dibuat gelisah, susah tidur, stres, bahkan tertawa dan menangis. Sendiri. Jika berkunjung ke kamar itu, kau kan melihat betapa buku adalah barang paling banyak yang memenuhi isi ruangan. Andai tidak ada ranjang dan kasur serta seperangkat bantal guling, barangkali kamar itu akan berubah menjadi sebuah perpustakaan kecil.

Tapi kamar tetaplah kamar, bukan perpustakaan. Kamar itu adalah ruang privasi. Ruang intim. Itu sebabnya saya lebih menyukai membaca dan menulis di kamar ketimbang di perpustakaan atau mana saja. Dengan membaca dalam kamar, berarti kita tidak sekedar membaca, melainkan juga melibatkan keintiman diri kita dengan apa yang kita baca. Membaca bukan lagi merupakan aktivitas untuk mengerti, melainkan lebih dari itu; menghayati. Bukan hanya merupakan aktivitas intelektual, tapi juga emosional. Membaca akhirnya tidak hanya menyenangkan namun juga memberi arti.

Kamar dapat mengapresiasikan diri seseorang sesukanya. Itu, bagi saya, menakjubkan. Seseorang bebas untuk melakukan apapun yang ia inginkan di kamarnya. Tempat sekecil itu, yang luasnya 4x4, justru memberi ruang luas bagi seseorang untuk menjadi dirinya sendiri. Berbanding besar dengan dunia luar yang sangat luas, tapi justru mengikat. Di luar, kita malah merasa dibatasi, terjajah, oleh gempuran nilai-nilai yang bahkan kitanya sendiri tidak mengerti.

Kamar juga tempat untuk melatih, memperbaiki dan mengembangkan diri seseorang. Ketika kita mampu membangun hidup dengan rapi,teratur, baik, di kamar, kita sudah memiliki modal untuk berhasil hidup di luar. Untuk mengetahui diri seseorang, saya lebih cenderung untuk melihat kamarnya. Karena kamar merupakan cerminan kepribadian seseorang. Ibarat manusia, kamar adalah hati dan pikiran manusia. Sebuah rumah yang indah, bagi saya, bukan dilihat dari seberapa megah bangunannya, melainkan kamar-kamarnya. Jika kamarnya bagus, rapi, indah, dan nyaman, maka, gambaran tentang kamar itu telah mewakili gambaran tentang rumah itu, tentang diri orang pemiliknya.

Segalanya bermula dari kamar dan akan berakhir di kamar. Kamar terakhir yang akan kita tempati adalah kamar berupa tanah; kuburan. Jika tanah adalah akhir segalanya, maka, buat apa kita berbangga-bangga dengan dunia.

Kamar itu, adalah hatimu. Mulailah segala yang baik dari kamarmu.

~Sabtu, 13 April 2013~

0 komentar:

Posting Komentar