Sains



Relasi agama dan sains tak selamanya harmonis. Hal itu, mulai dapat dibaca dalam catatan sejarah peradaban Barat, abad pertengahan. Di Barat, agama dan sains memperlihatkan persaingan yang mengerikan. Otoritas kebenaran saling diperebutkan. Pada saat itu, slogan Ancilla Theologia, filsafat harus mengabdi pada Teologi, menjadi semacam akidah baru bagi agama (Kristen). Sains yang merupakan warisan Yunani, harus berlawanan dengan agama.

Akibatnya, kekerasan atas nama agama tak pelak ditepis. Pada 415 M, Hypatia, ilmuwan perempuan berparas cantik itu, terbunuh. Juga Iskandaria, perpustakaan yang menyimpan buku Aristarchus, buku yang menyatakan bumi adalah salah satu planet yang mengelilingi matahari yang kemudian muncul kembali di abad Modern, terbakar. Dan tepatnya pada 529 M, Justianus menutup pusat belajar ilmu pengetahuan, termasuk Academy peninggalan Plato yang telah berdiri sejak 387 SM.

Baru pada abad Modern, sains dengan sengit memperlihatkan perlawanannya. Kala itu, agama harus menghadapi sains yang bertumpu pada bukti-bukti empirik. Kebenaran agama pun berubah menjadi doktrin. Copernicus, pada 1543 M, menentang pandangan geosentris; bumi sebagai pusat jagat raya, dengan teorinya heliosentris; mataharilah pusat jagat raya. Dilanjutkan Galileo, yang menguatkan pandangan tersebut dengan pengamatan teleskopnya. Selain itu, Kepler juga mendukung Copernicus. Akhirnya, pada masa Newton (1642-1727) tradisi ilmiah menjadi bagian kebudayaan baru di Barat.
Dengan kebenarannya yang bersifat empirik, maka sains dengan sendirinya mampu menolak bentuk kebenaran apa saja dan dari manapun jua. Dari ketegangan yang terjadi antara sains dan agama itu, dapat kita lihat, tidak hanya otoritas kebenaran lagi yang dipertentangkan, melainkan juga bangunan epistemologis menuju kebenaran, antara Kitab Suci dan observasi. Selain itu juga, tentang status ontologis kosmos, apakah bernilai sakral ataukah profan. Kesimpulannya, sains memilih menjadi sekuler. Trauma sejarah mengakibatkannya memilih jalannya sendiri.

Berbeda dengan Barat, Islam tidak mengalami masa-masa pertentangan semacam itu. Justru ketika awal berjumpa dengan sains, Islam berupaya menjadikan sains bagian dari agama. Di samping karena faktor internal Islam, juga karena kekalahan yang dialami negara-negara Islam kala berhadapan dengan Barat yang maju karena sains dan teknologi. Muzaffar Iqbal, dalam Islam and Science, menyatakan bahwa kala itu, negara-negara Islam mengalami catching up syndrome, sindrom mengejar ketertinggalan (dari Barat).

Benarkah sains netral? Bagi pemikir instrumentalis seperti Jamaluddin al-Afgani, Abduh dan Rasyid Ridha, sains dan teknologi itu netral, tidak akan mempengaruhi keyakinan keagamaan. Dapat digunakan oleh agama apapun dan kebudayaan manapun. Tapi Maryam Jamela, pemikir restorasionis, menganggap lain. Pemikir perempuan asal Yahudi yang masuk Islam itu, berpandangan bahwa sains Barat tidak bebas nilai, ia dibimbing oleh materialisme dan sekularisme. Maka, modernisasi sains akan mengakibatkan westernisasi dan sekularisasi. Peradaban Islam tidak akan bisa dibangun dengan oleh sains dan teknologi Barat. Hal ini terbukti, ambisi Turki untuk mengadopsi sains dan teknologi Barat, ternyata harus melepaskan agama dalam kehidupan rakyatnya yang religius. Peradaban Islam yang dibayangkan maju hanya tinggal khayalan.

Apakah Islam harus menolak sains Barat dan melahirkan sains khas Islam sendiri? Bagaimana bentuk sains yang Islami itu? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi kajian serius bagi beberapa pemikir seperti Syed Muhammad Naquib al-Attas, Sayyed Hossain Nasr, Ismail R. al-Faruqi, Ziauddin Sardar dan Mehdi Golshani. Yang menarik dari para pemikir di atas, menganggap bahwa sains Barat tidak sepenuhnya berdiri sendiri, tapi didasari oleh pandangan hidup  (Scientifiec World view) masyarakat Barat. Mereka juga cenderung melihat sains Barat tidak seluruhnya jelek, dan harus ditolak.

Naquib al-Attas misalnya. Pemikir asal Bogor itu memandang sains sebagai produk yang diwarnai oleh kebudayaan produsennya. Sebuah kebudayaan itu unik, memiliki khasnya sendiri, dan berbeda dengan kebudayaan lain. Adapun filsafat memiliki peran amat signifikan dalam mengarah dan menafsirkan sains Barat. Dan karena sains itu lahir dari rahim filsafat Modern yang materialistik, mekanik dan sekuler, maka sains Barat tidak lepas dari corak itu. Rasionalisme, empirisme dan bahkan pragmatisme telah memiskinkan realitas. Melenyapkan ruh metafisik, yakni ruh Tuhan yang suci dalam diri manusia. Akibatnya sains Barat cenderung destruktif, melahirkan banyak krisis alam dan moral di dunia. Itu karena sains tidak bebas nilai. Sains bukan sekumpulan teori dari analisis data-data empirik, melainkan juga mencakup pandangan dunia, ideologi dan filsafat masyarakat Barat serta penafsiran dan arah yang ditujunya.      
  
Singkatnya, Attas menginginkan sebuah Islamisasi sains. Islamisasi sains yang ditawarkan bukan melahirkan sains baru yang sepenuhnya khas Islam, lahir dari tubuh Islam sendiri, seperti yang dicita-citakan Nasr atau Faruqi. Melainkan dengan memasukkan nilai-nilai Islami ke dalam sains yang telah sekuler dan materialistik; mencakup pandangan dunia metafisik Islami, prinsip epistemologis, serta etika Islam. Intinya, Attas ingin memasukkan nilai-nilai Islam ke dalam Islam; menambahkan dan menggantikan yang tidak sejalan ke dalam sains. Sebab bagi Attas, sains dan agama (Islam) pada dasarnya harmonis, maka tidak perlu dipertentangkan. Sebab, keduanya bersumber dari realitas Yang Satu, Al-Haq, yakni Tuhan itu sendiri.

~ Minggu, 14 April 2013 ~

0 komentar:

Posting Komentar