Golshani



Jika Iran tak gentar meski digertak Amerika akibat pengembangan nuklirnya, jangan heran, itu, barangkali, karena Mehdi Golshani. Seorang fisikawan, kelahiran Isfahan, sebuah kota yang dikenal sejak zaman kejayaan Islam sebagai pusat Ilmu pengetahuan. Ia tidak hanya menggeluti bidang keilmuannya, mengkaji serius tentang teori dan rumus-rumus fisika, tapi ia juga pandai membaca Barat.

Apa yang dirisaukan Golshani, sebenarnya, sama dengan Attas tentang sains Barat. Barangkali karena keduanya pernah tinggal dan studi di sana, lalu heran atau merasa ganjil, ternyata sains ketika kian jauh didalami dan dikritisi itu, justru mengandung unsur-unsur di luar sains itu sendiri, tidak netral seperti yang dibayangkan, melainkan mengandung rupa Barat. Maka tak heran, jika Golshani paham betul  mengapa Barat begitu takut dengan pengembangan nuklir Iran. Dari kaca mana Golshani, itu bukan karena masalah kekuasaan, melainkan lebih jauh adalah masalah internal sains Barat itu sendiri.

Usai menamatkan pendidikannya di Universitas Teheran 1959 dengan gelar B.S. (Bachelor of Science) dalam bidang fisika, Golshani berangkat ke Amerika, belajar di University of California, Berkeley AS, dan lulus 1969 dengan gelar Ph. D., spesialis fisika partikel. Jadi Golshani betul-betul terjun ke dunia sains. Itu sebabnya di beberapa hal, ia berbeda dengan Attas. Attas memang jeli membaca kebudayaan Barat sebagaimana ia tahu tentang seluk beluk kebudayaan Melayu. Tapi tentang sains itu sendiri, saya kira Golshani mempunyai kelebihan lain.

Sains itu tidak bebas nilai. Artinya, sains tidak bebas nilai karena memiliki nilai-nilai tertentu. Yakni yang dibangun dari praanggapan metafisik (metaphysical perspective), sehingga mempengaruhi penarikan kesimpulan dalam sains. Praanggapan metafisik itu berdasar pada pandangan dunia tertentu yang bisa bersumber dari  agama atau filsafat yang dijadikan pedoman dalam segala aktivitas kehidupan suatu masyarakat. Dan sains Barat didominasi paham materialisme dan sekuler. Bedanya Attas dengan Golshani; Attas mengeneralisasi semua sains Barat bercorak materialisme dan sekuler, sementara Golshani tidak, itu hanya yang dominan saja, sains Barat memiliki kompleksitas nilai.

Praanggapan metafisik yang sekuler dan materialistik itu, bagi Golshani, memberi dampak terhadap penerapan sains dan teknologi Barat. Yakni bahwa sains Barat cenderung mengarah kepada eksploitasi alam yang berlebihan. Akibatnya, polusi lingkungan tak dapat dihindarkan. Dampak sosial masyarakat juga bermuncul. Hubungan antar manusia di Barat menjadi bersifat instrumental, saling memanfaatkan, saling mengobyekkan satu sama lain, dan individualistis. Akan tetapi yang paling mengkhawatirkan adalah lenyapnya dimensi spiritual dalam kehidupan manusia..

Itulah problem sains Barat saat ini. Itu sebabnya, barangkali, mengapa Barat takut terhadap pengembangan nuklir Iran. Golshani sejalan dengan Attas bahwa sains Islam adalah sains yang berbasis spiritual. Sains yang didasari oleh praanggapan atau pandangan dunia Islam. Yakni sains yang berbasis ketauhidan. Bahwa seorang ilmuwan muslim mesti mengetahui bahwa ketika ia mengkaji sains, ia sedang menjalani tugasnya sebagai manusia di hadapan Allah. Juga, seorang ilmuwan muslim, harus tahu akan posisi dan status dirinya dan alam di hadapan Allah. Sehingga, dengan mengetahui status dirinya, Tuhan dan juga alam, akan melahirkan kesadaran bahwa alam diciptakan tidak begitu saja secara sembarangan atau muncul secara kebetulan atau alami. Pertimbangan kemanfaatan alam untuk manusia juga didasari oleh nilai moral dengan tetap menjaga keseimbangan tata lingkungan dan kelestariannya.

Lalu, apa itu sains Islam? Apakah sains yang lahir dari al-Qur’an dan hadis? Tidak, demikian jawab Golshani. Sains Islam itu adalah sains yang mengandung unsur-unsur Islam hanya pada aspek yang mendasarinya, yakni berupa pandangan hidup Islam. Sementara itu, proses dan prosedur serta penarikan kesimpulan dalam sains bersifat netral. Aktivitas observasi dan eksperimentasi dapat sama di seluruh dunia. Dengan demikian, data dan kesimpulan juga sama. Yang diperlukan dalam sains modern saat ini adalah hanya mengubah hal-hal yang menyimpang dari Islam. Caranya dengan mengubah praanggapan metafisik dengan mengusulkan metafisika Islam dan beberapa prinsip epistemologis Islami seperti menambahkan intuisi sebagai sumber ilmu.

Dalam pandangan Golshani, ilmu itu dibagi menjadi dua: yang berguna dan ilmu yang tidak berguna. Ilmu yang berguna adalah ilmu yang dapat mendekatkan diri pada Allah, dapat membantu mengembangkan masyarakat Islam, dapat membimbing orang lain dan dapat memecahkan berbagai persoalan masyarakat.

Barangkali, jika Golshani ditanya perihal nuklir Iran. Ia tak kan langsung menjawab, tapi meluruskan sesuatu dengan bertanya terlebih dulu, “sains itu untuk manusia atau untuk Tuhan?”


0 komentar:

Posting Komentar