Netral

“Sains itu tidak netral. Ia berasal dan mengandung pandangan hidup masyarakat Barat yang sekuler dan materialistik”, demikian kira-kira jawaban Attas jika kita bertanya padanya tentang sains modern. Bagi Attas dan juga beberapa pemikir lain seperti Nasr, Sardar, Golshani dan Faruqi, sains dan teknologi itu adalah produk sosial, bukan sekedar kesimpulan dari analisis beberapa data. Ia juga mencakup pandangan dunia, ideologi serta filsafat hidup mereka. Dan karena filsafat Barat itu sekuler dan materialistik, maka produk sains juga menjadi sekuler dan materialistik.

Yang dimaksud dengan sekuler adalah bahwa sains tidak memberi ruang bagi kehadiran Tuhan, dengan mendesakralisasikan alam semesta, melepas unsur keilahiahan alam itu sendiri. Sementara maksud materialisme yaitu melihat materi sebagai satu-satunya realitas yang selanjutnya melahirkan pandangan bahwa segala yang bukan materi adalah ilusi. Dengan pandangan seperti itu, maka sains tidak hanya mengingkari adanya Tuhan sebagai realitas yang nyata, melainkan juga mengingkari wahyu sebagai sumber kebenaran.

Kekeliruan umat Islam saat ini, adalah tidak menyadari hal tersebut. Umat Islam saat ini masih menganggap sains itu netral, universal dan bebas nilai, sehingga tidak akan mempengaruhi iman seseorang. Kenyataannya tidak. Jika sains itu bebas nilai, lalu apa arti rasionalisme, empirisme, pragmatisme, positivisme, materialisme dan ideologi-ideologi lain bagi sains? Katanya, sains itu netral, tapi mengapa ideologi-ideologi tersebut dianut? Ini menunjukkan bahwa sains Barat itu tidak konsisten dengan prinsip yang dibangunnya, bahwa ia bebas nilai. Ditambah lagi sains Barat menolak nilai agama. Ini tambah tidak fair lagi. Mengapa? Jika sains Barat menerima beberapa ideologi, mengapa agama tidak dimasukkan? Bukankah agama juga memiliki pandangan mengenai kebenaran?

Ya, dalam sains Barat, agama dikesampingkan. Lalu, apa arti nilai kebenaran dalam agama kalau begitu? Jika kebenaran sains dianggap sebagai kebenaran obyektif, lalu bagaimana dengan agama? Apakah kebenaran agama itu subyektif? Padahal, agama itu bersifat universal, dari Tuhan untuk semua manusia, bukan produk budaya. Jika sains yang dikenal dengan observasinya mampu menampilkan realitas secara apa adanya dan itu hanya pada area fisik saja, pertanyaannya, apakah realitas itu hanya fisik saja, tidak adakah yang berupa metafisik? Tuhan adalah metafisik, lalu, apakah kemudian Tuhan menjadi ilusi di mata sains? Inilah yang menjadi problem kajian sains Islam. Jika sains Barat hanya diadopsi saja maka hubungan antara agama dan sains terputus. Keterputusan sains dengan agama juga akan mengakibatkan penggunaan produk sains terlepas dari agama. Akibatnya, sains dan teknologi dipakai hanya untuk kepentingan manusia, tanpa memperhatikan nilai moral agama, masyarakat, dan eksistensi alam itu sendiri.

Menurut Attas, sains tidak dapat dilepaskan dari Agama. Sebab, obyek sains, yakni alam atau kosmos itu berkaitan erat dengan Tuhan. Dalam Islam, menurut Attas—dengan merujuk kepada para filsuf terdahulu seperti Ibn Arabi—Tuhan dipahami sebagai wujud Absolut (wajib al-wujud) sedang alam adalah wujud kontingen (jaiz al-wujud). Wujud kontingen bereksistensi karena adanya wujud absolut. Jadi ia tidak berdiri sendiri, terpisah dengan wujud Absolut. Keduanya sama-sama bereksistensi, tapi berbeda secara ontologis. Bahwa alam memiliki awal dan akhir, tergantung pada kreasi Tuhan sehingga tidak bisa memiliki wujud sendiri yang terlepas dari wujud Absolut. Oleh karena itu Attas menyebut realitas absolut sebagai batbu’ (yang diikuti) sementara eksistensi relatif disebut tabi’ (yang mengikuti). Jadi alam fisik merupakan penampakan (tajalli) dari wujud Supra-fisik dalam sebuah proses tanpa sekuen waktu. Ia merupakan bagian dari proses eksternal yang menggambarkan tatanan wujud Absolut dan wujud lain.

Akan tetapi, dunia fisik tidak sekedar dipandang sebagai penampakan, melainkan juga pintu masuk mencapai realitas Absolut. Artinya ketika kita mengkaji alam tidak berhenti sampai dalam penampakan yang berupa fisik itu tapi justru itu merupakan pintu masuk untuk mengenal dan menjelajah realitas metafisik. Itu sebabnya Attas memandang bahwa alam sama-sama dipandang sebagai kitab suci, yakni berupa ayat-ayat atau tanda yang mengandung makna, dan itu harus diungkap. Sebagai ayat, alam adalah simbol. Dan eksistensi sebuah simbol, tidak lepas dari makna yang disimbolkan. Ia diciptakan oleh pembuat simbol dengan signifikansi untuk menunjuk pada makna, sebagai sesuatu yang atau berada di balik simbol. Maka ia tidak memiliki signifikansi sendiri yang mandiri. Ia diciptakan oleh pembuat simbol dengan signifikansi untuk menunjuk pada makna sebagai sesuatu yang dikandung atau berada di balik simbol. Makna adalah tujuannya dan kebenaran tertinggi adalah kebenaran makna yang dikandungnya itu. Nah untuk mengetahui makna itu maka sumber agama berupa wahyu dan juga pengetahuan intuitif menjadi sangat penting untuk dimasukkan dalam dalam epistemologi sains. Sehingga arah sains mendapat kejelasan menurut pandangan Islam.

Apakah selanjutnya sains menjadi netral dengan memasukkan agama? Tentu tidak. Seperti diungkap di atas, bahwa tidak ada yang netral dalam sains. Sains itu tetap memihak. Sebagaimana pemikiran manusia yang tidak dapat lepas dari asumsi-asumsi standar kebenaran yang diyakininya, yang mana, hal itu, terbangun dari pandangan hidupnya tentang realitas.

Jadi, kalau betul sains itu tidak netral dan sains yang kini dipelajari berwajah pandangan hidup Barat yang sekuler dan materialistik, pertanyaannya, akankah kita tetap memakainya? Jika air yang kita minum ketahuan bahwa itu bukan air melainkan minyak atau bercampur dengan minyak akankah kita tetap meminumnya begitu saja?

0 komentar:

Posting Komentar