Yang dimaksud
dengan sekuler adalah bahwa sains tidak memberi ruang bagi kehadiran Tuhan, dengan
mendesakralisasikan alam semesta, melepas unsur keilahiahan alam itu sendiri. Sementara
maksud materialisme yaitu melihat materi sebagai satu-satunya realitas yang
selanjutnya melahirkan pandangan bahwa segala yang bukan materi adalah ilusi. Dengan
pandangan seperti itu, maka sains tidak hanya mengingkari adanya Tuhan sebagai
realitas yang nyata, melainkan juga mengingkari wahyu sebagai sumber kebenaran.
Kekeliruan umat
Islam saat ini, adalah tidak menyadari hal tersebut. Umat Islam saat ini masih
menganggap sains itu netral, universal dan bebas nilai, sehingga tidak akan
mempengaruhi iman seseorang. Kenyataannya tidak. Jika sains itu bebas nilai,
lalu apa arti rasionalisme, empirisme, pragmatisme, positivisme, materialisme dan
ideologi-ideologi lain bagi sains? Katanya, sains itu netral, tapi mengapa
ideologi-ideologi tersebut dianut? Ini menunjukkan bahwa sains Barat itu tidak
konsisten dengan prinsip yang dibangunnya, bahwa ia bebas nilai. Ditambah lagi sains
Barat menolak nilai agama. Ini tambah tidak fair lagi. Mengapa? Jika sains
Barat menerima beberapa ideologi, mengapa agama tidak dimasukkan? Bukankah
agama juga memiliki pandangan mengenai kebenaran?
Ya, dalam sains
Barat, agama dikesampingkan. Lalu, apa arti nilai kebenaran dalam agama kalau
begitu? Jika kebenaran sains dianggap sebagai kebenaran obyektif, lalu
bagaimana dengan agama? Apakah kebenaran agama itu subyektif? Padahal, agama
itu bersifat universal, dari Tuhan untuk semua manusia, bukan produk budaya. Jika
sains yang dikenal dengan observasinya mampu menampilkan realitas secara apa
adanya dan itu hanya pada area fisik saja, pertanyaannya, apakah realitas itu
hanya fisik saja, tidak adakah yang berupa metafisik? Tuhan adalah metafisik,
lalu, apakah kemudian Tuhan menjadi ilusi di mata sains? Inilah yang menjadi
problem kajian sains Islam. Jika sains Barat hanya diadopsi saja maka hubungan
antara agama dan sains terputus. Keterputusan sains dengan agama juga akan
mengakibatkan penggunaan produk sains terlepas dari agama. Akibatnya, sains dan
teknologi dipakai hanya untuk kepentingan manusia, tanpa memperhatikan nilai
moral agama, masyarakat, dan eksistensi alam itu sendiri.
Menurut Attas,
sains tidak dapat dilepaskan dari Agama. Sebab, obyek sains, yakni alam atau
kosmos itu berkaitan erat dengan Tuhan. Dalam Islam, menurut Attas—dengan
merujuk kepada para filsuf terdahulu seperti Ibn Arabi—Tuhan dipahami sebagai wujud
Absolut (wajib al-wujud) sedang alam adalah wujud kontingen (jaiz
al-wujud). Wujud kontingen bereksistensi karena adanya wujud absolut. Jadi
ia tidak berdiri sendiri, terpisah dengan wujud Absolut. Keduanya sama-sama
bereksistensi, tapi berbeda secara ontologis. Bahwa alam memiliki awal dan
akhir, tergantung pada kreasi Tuhan sehingga tidak bisa memiliki wujud sendiri
yang terlepas dari wujud Absolut. Oleh karena itu Attas menyebut realitas
absolut sebagai batbu’ (yang diikuti) sementara eksistensi relatif
disebut tabi’ (yang mengikuti). Jadi alam fisik merupakan penampakan (tajalli)
dari wujud Supra-fisik dalam sebuah proses tanpa sekuen waktu. Ia merupakan
bagian dari proses eksternal yang menggambarkan tatanan wujud Absolut dan wujud
lain.
Akan tetapi, dunia
fisik tidak sekedar dipandang sebagai penampakan, melainkan juga pintu masuk
mencapai realitas Absolut. Artinya ketika kita mengkaji alam tidak berhenti
sampai dalam penampakan yang berupa fisik itu tapi justru itu merupakan pintu
masuk untuk mengenal dan menjelajah realitas metafisik. Itu sebabnya Attas
memandang bahwa alam sama-sama dipandang sebagai kitab suci, yakni berupa
ayat-ayat atau tanda yang mengandung makna, dan itu harus diungkap. Sebagai
ayat, alam adalah simbol. Dan eksistensi sebuah simbol, tidak lepas dari makna
yang disimbolkan. Ia diciptakan oleh pembuat simbol dengan signifikansi untuk
menunjuk pada makna, sebagai sesuatu yang atau berada di balik simbol. Maka ia
tidak memiliki signifikansi sendiri yang mandiri. Ia diciptakan oleh pembuat
simbol dengan signifikansi untuk menunjuk pada makna sebagai sesuatu yang
dikandung atau berada di balik simbol. Makna adalah tujuannya dan kebenaran
tertinggi adalah kebenaran makna yang dikandungnya itu. Nah untuk mengetahui
makna itu maka sumber agama berupa wahyu dan juga pengetahuan intuitif menjadi
sangat penting untuk dimasukkan dalam dalam epistemologi sains. Sehingga arah
sains mendapat kejelasan menurut pandangan Islam.
Apakah selanjutnya
sains menjadi netral dengan memasukkan agama? Tentu tidak. Seperti diungkap di
atas, bahwa tidak ada yang netral dalam sains. Sains itu tetap memihak. Sebagaimana
pemikiran manusia yang tidak dapat lepas dari asumsi-asumsi standar kebenaran
yang diyakininya, yang mana, hal itu, terbangun dari pandangan hidupnya tentang
realitas.
Jadi, kalau betul
sains itu tidak netral dan sains yang kini dipelajari berwajah pandangan hidup
Barat yang sekuler dan materialistik, pertanyaannya, akankah kita tetap
memakainya? Jika air yang kita minum ketahuan bahwa itu bukan air melainkan
minyak atau bercampur dengan minyak akankah kita tetap meminumnya begitu saja?
0 komentar:
Posting Komentar