.... (tentang poligami) Ini sah menurut hukum Islam. Kalau seperti ini, siapa yang tidak mau melakukannya? Mengapa tidak? Ini bukan kesalahan, tindak kejahatan ataupun skandal; hukum Islam mengizinkan laki-laki beristri empat sekaligus. Meski banyak orang mengatakan ini bukan dosa, tapi aku,selama-lamanya akan tetap mengatakan ini sebuah dosa. Semua benih perbuatan yang menyakitkan orang lain (termasuk menyakiti hewan adalah dosa) Bisa kau bayangkan derita seorang istri yang melihat suaminya pulang membawa perempuan lain yang kemudian diakuinya sebagai sah istri suaminya? Sebagai saingannya.
Pengetahuan agama Kartini—bila kita rujuk pada suratnya di
atas—memang tidak mendalam. Misalnya tentang masalah poligami dalam Islam yang
memiliki tujuan, hikmah dan syarat-syarat tertentu, tidak gampang dilakukan
begitu saja, seperti yang dikatakannya itu. Akan tetapi, kita juga keliru, jika
kritiknya terhadap ajaran Islam seperti poligami dan hak pendidikan yang sama
bagi perempuan dalam catatan suratnya yang lain, kita remehkan begitu saja. Sebab
kritik adalah kritik, dan kritik itu penting. Kita mungkin berpikir; karena sudah
jelas pengetahuan Kartini dangkal soal agama maka kritiknya menjadi tidak otoritatif,
kemudian kita menindak untuk tak perlu lagi hal itu ditanggapi secara serius, biarkan
saja, habis perkara. Tidak sesederhana itu. Cara berpikir demikian, menurut
saya, tidak seluruhnya benar. Sebab cara seperti itu, bukan satu-satunya model
pembacaan dalam memahami Kartini. Cara membaca seperti itu, adalah cara baca seseorang
yang berusaha memahami orang lain bukan dari perspektif orang itu sendiri,
melainkan dengan standar yang lain atau perspektif “aku”. Akibatnya, kesimpulan
dari pembacaan yang begitu itu akan jatuh pada penilaian hitam putih; benar dan
salah, baik dan buruk. Meski pembacaan seperti itu penting dan juga kritis,
namun di sisi lain ada yang terlepas, yakni sisi psikologis Kartini sendiri,
dan bahkan juga sisi psikologis diri kita sendiri. Kita lebih banyak berpikir daripada
merasakan apa yang dirasakan orang lain, lebih banyak menilai daripada mendengarkan
apa yang diderita orang lain.
Saya telah membaca dua versi buku kumpulan surat-surat
Kartini; satu yang disusun oleh Armijn Pane berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang
dengan mengacu pada Door Duisternis Tot Licht ( Dari Gelap Menuju Terang) kumpulan
surat-surat Kartini yang pertama yang disusun oleh J.H. Abendanon, dan satunya lagi—yang sekarang ini saya baca—yang disusun oleh Joost Coté dengan judul On Feminism and Nationalism: Kartini’t Letters to
Stella Zeehandelaar 1800-1903 yang lalu diterjemahkan oleh Vissia Ita Yulianto
berjudul Aku Mau; Feminisme dan Nasionalisme Surat-surat Kartini kepada
Stella Zeehandelaar 1899-1983. Kalau harus memilih mana yang lebih saya
sukai dari dua buku itu, saya akan terus terang, saya suka buku yang pertama. Karena
bahasanya masih berbahasa Melayu, Indonesia tempo dulu, jadi, nuansanya begitu
mengena, dan terasa sekali, sementara terjemahan buku yang kedua menggunakan
bahasa populer, bahasa saat ini, meski lebih mudah, tapi tidak selalu yang
mudah itu juga lebih indah, bahkan sering kali dalam kemudahan reduksi sering
terjadi. Di samping karena bahasa, juga karena susunan buku yang kedua itu seperti
roman. Membaca buku itu sepeti membaca sebuah roman kehidupan seorang
perempuan. Sementara pada buku yang kedua catatan itu difokuskan pada catatan
pemikiran Kartini yang oleh memuat corak feminisme dan nasionalisme Joost Coté, jadi tidak hanya bahasa, tapi juga pemikiran Kartini
tereduksi di situ.
Saya termasuk dari orang yang sulit menerima Kartini sebagai
sosok perempuan yang pantas menjadi ikon/simbol pejuang atau pahlawan kaum
perempuan. Karena, saya berpikir, jasa Kartini bagi Indonesia belum terlihat
jelas dan terasa benar: apa yang telah diperbuat Kartini untuk bangsa ini, dan sebesar
apa jasa beliau bagi perempuan Indonesia. Kalau ada, manakah buktinya? Apakah
karena berkat jasa Kartini, perempuan Indonesia menjadi maju? Apakah benar
Kartini telah memberi perubahan besar bagi perempuan Bumiputera? Sebesar apakah
itu? Pertanyaan-pertanyaan itu sering mengganjal di pikiran saya tentang
kepahlawanan kaum perempuan Indonesia Kartini. Sehingga, dari karena keseringan
, nadanya kemudian berubah; tidak lagi sebagai sebuah tanda tanya, melainkan telah
menjadi semacam gugatan dan protes: mengapa harus Kartini!
Akan tetapi, saya tidak bisa melupakan surat-suratnya
itu. Kritiknya terhadap ajaran Islam, meskipun tidak mengena, akan tetapi
mengapa Kartini sampai mengkritik seperti itu, sangat mengganggu pikiran saya. Lalu,
mengapa kemudian Kartini memilih hidup seperti Barat, itu juga menguras perasaan
saya. Yang bergolak di kepala saya, mengapa Kartini tidak memilih agama sebagai
solusi? Pertanyaan-pertanyaan itu sering mengganjal di pikiran saya. Sehingga,
dari karena keseringan, nadanya kemudian berubah; tidak lagi sebagai sebuah tanda
tanya, melainkan telah menjadi semacam gugatan dan protes: mengapa tidak Islam!
Kemudian saya berpikir lagi, jangan-jangan memang pada waktu
itu agama dianggap bukan sebagai solusi hidup. Jangan-jangan peran agama hanya
dalam ritual saja. Lalu, siapa yang salah kemudian; apakah Kartini? Ataukah
umat Islam dan ulama zaman itu? Kalau Kartini tidak menemukan contoh
negara-negara Islam yang maju untuk menjadi rujukan bangsanya, yang salah kemudian
siapa; apakah Barat? Ataukah umat Islam dan pemimpin muslim zaman itu?
Kalau dipetakan, untuk sebuah perubahan menuju zaman baru
bagi perempuan Indonesia, Kartini melakukan dua macam kritik; kritik internal
yakni kebudayaan Jawa dan ajaran Islam yang dipeluknya dan kritik eksternal
yakni bangsa Barat. Kartini tidak sepenuhnya memuja Barat. Penjajahan,
pemerasan dan penyiksaan oleh penjajah Belanda jelas ditentang Kartini. Cara
hidup buruk Barat seperti menghisap opium juga dibencinya. Yang paling dikagumi
Kartini hanyalah kemajuan keilmuan Barat. Itulah yang kemudian
mengispirasikannya bahwa bangsa Indonesia akan maju lewat pendidikan. Kritiknya
terhadap agama, saya pikir, bukan pada isinya, tapi psikologis (kegelisahan) Kartini sendiri.
Ketika saya membaca kritiknya terhadap agama dan membesarkan Barat, seolah mendengar keluhnya: mengapa pada zaman saya Islam tidak hadir memberi solusi?
“Mengapa harus Kartini?” Bukan itu pertanyaannya, tapi: “mengapa
bukan Islam, tapi Barat yang dipilih Kartini?”
0 komentar:
Posting Komentar