Omong-Omong tentang Musik, 7

“Menikmati musik itu bukan dengan telinga, Tuan, tapi dengan hati” kata Jin-I, seorang Kisaeng—semacam Geisha ala Korea dalam film drama Korea Hwang Jini—pada seorang pejabat kerajaan yang hendak menghapus musik Joseon dan digantikan musik lain dari luar karena musik asal Korea itu dinilai tidak lagi artistik, kuno, ketinggalan zaman, dan kalah dengan musik negeri lain. Sekilas, memang, musik Joseon terdengar sangat sederhana, bunyinya seperti senar kecapi yang hanya ditarik-tarik atau kendang yang dipukul-pukul malas, nada dan iramanya lambat dan monoton, tidak menimbulkan banyak ragam melodi. Barangkali bagi orang Korea sekarang, mendengarkan permainan musik Joseon akan terasa membosankan dan bikin kantuk, seperti kita orang Jawa saat mendengarkan musik gamelan. Akan tetapi, sebagai penikmat yang sedikit banyak belajar dari pengalaman langsung mendengarkan musik, saya justru merasakan jiwa Korea yang asli di sana, bukan pada musik-musik pop Korea sekarang. Dengan musik yang melambat itu, waktu tidak dimaknai sebagai gerak menuju ke masa depan sehingga harus diantisipasi dengan cepat seperti yang dialami oleh masyarakat modern yang selalu ingin cepat dan instan. Tetapi sebaliknya, waktu itu diputar ke belakang bahkan hendak dihentikan beberapa saat untuk memaknai hidup di kesunyian.
   
Akan tetapi, di sini, kita tidak akan membicarakan musik Korea, melainkan membicarakan perilah disampaikan Jin-I di atas, yakni tentang cara menikmati musik. Bahwa, menurut perempuan yang memiliki jiwa seni itu, mendengarkan musik yang benar itu adalah dengan hati. Ucapannya itu spontan membuat saya penasaran. Saya ingin lebih jauh tahu sebabnya, mengapa harus hati? Bukankah musik itu hanya kumpulan bunyi-bunyian yang didengar telinga? Tapi, mengapa harus hati? Apakah kalau kita mendengarkan dengan hati, itu artinya musik tidak harus berupa bunyi-bunyian, tidak harus terdengar telinga? Ah, itu mustahil. Sungguh mustahil bila musik tanpa bunyi. Musik adalah seni bunyi, tidak dapat dilepaskan dari bunyi-bunyian. Kalau bukan bunyi, lalu apa yang meski kita dengar? Mendengarkan musik dengan telinga tanpa hati atau hanya hati saja tanpa terdengar bunyinya, saya kira, tidak akan bisa. Karena, bunyi-bunyian itu langsung menyentuh hati. Tanpa bunyi, susah rasanya hati tersentuh. Saya pun berpikir, mungkin bukan cara seperti ini yang dimaksud Jin-I. Lalu apa? Saya kembali mengingat-ngingat kembali pengalaman mendengarkan musik. Akhirnya, ya, saya temukan jawaban itu.
   
Mendengarkan musik lewat hati adalah hal wajar. Justru bila tidak dengan hati perlu dipertanyakan. Kenapa? Karena, hakikat musik adalah hati. Salahkah pernyataan ini? Tidak. Memang, terdengar, musik itu kumpulan dari beberapa bunyi-bunyian, yang kemudian membentuk irama tertentu. Namun, tidak benar juga jika kita menyimpulkan bahwa hakikat dari musik adalah bunyi. Sebab, tidak mesti bunyi yang berirama otomatis menjadi musik. Bunyi adalah suara yang terdengar oleh telinga, yang timbul akibat dari pertemuan paling sedikit antar dua benda yang bersentuhan. Jika kita memotong kayu, pertemuan antara kapak dan kayu akan mengeluarkan bunyi. Pemotongan yang dilakukan dengan berulang itu juga akan membentuk irama. Tapi, adakah kemudian kita menyebutnya musik? Musik kayu dipotong, misalnya? Tentu tidak. Kita hanya akan menyebutnya sebagai bunyi kayu dipotong. Kalau memang musik itu berasal dari bunyi, berati musik itu juga dapat muncul begitu saja, tanpa ada manusia yang terlibat di dalamnya. Sembarangan. Alias acak.
 

Tapi, kenyataannya, tidak seperti itu. Kenapa? Karena musik hakikatnya dari hati. Ia tercipta karena adanya kehadiran manusia yang mempunyai hati. Jadi manusia adalah unsur utama dari musik, bukan bunyi. Dengan perasaannya yang berasal dari hati itu, ia membuat dan mengolah bunyi-bunyian menjadi musik. Tanpa adanya manusia, musik tidak akan pernah ada.
   
Dengan demikian, jika kita ingin mendengar inti dari musik, adalah dengan merasakannya lewat hati dan mengetahui perasaan atau hati musik itu. Dari hati ke hati, demikian tepatnya mendengarkan musik itu. Menikmati musik sebatas mendengar kumpulan bunyi yang bermain-main sendiri, yang kita tangkap hanya kulit luarnya saja. Bunyi itu hanya tanda, yang penting adalah makna di balik tanda itu. Saat mendengarkan musik, kita mestinya bertanya apa pesan yang hendak disampaikan musik itu. Jika musik itu ada liriknya maka ia juga sebagai tanda, dan kita mesti mengerti maknanya juga. Jika hanya berupa instrumen, maka kita tetap mencari makna di balik bunyi itu. Salah satunya dengan memahami nada-nada keras, lembut, datar, meninggi, rendah, liukan-liukannya dan sebagainya.

Selain itu, kita juga perlu mengaitkan musik itu dengan kehidupan kita. Tanpa mengaitkannya dengan kehidupan kita saat ini, musik itu tidak akan berarti apa-apa. Sesuatu menjadi berarti biasanya karena ada kesamaan antara obyek yang dirasakannya dengan perasaannya sendiri, atau sebaliknya. Dialog antara musik dengan pendengarnya akan menciptakan ragam pemaknaan yang berarti. Dengan catatan, harus dengan hati, sebab jika dengan pikiran, keintiman dengan musik tidak akan tercapai. Yang terjadi malah penjaraan dengan musik itu. Seperti yang dilakukan pejabat kerajaan itu. Maka, tidak salah kemudian kritik Jin-I: “Kalau anda mendengarkan musik, kemudian anda tidak tersentuh olehnya, itu bukan salah musiknya, Tuan, tapi karena hati anda tidak mau membuka diri terhadap musik yang anda dengar. Demikian pula jika anda tidak menghargai musik Jaseon, itu bukan karena musik Jaseon tidak berharga, tapi hati anda yang tidak mau atau malu menghargai musik negeri anda sendiri. Betapapun, Tuan, saya akan memilih musik Jaseon, karena dengan menghargai musik Jaseon, saya menghargai diri saya sendiri.”

0 komentar:

Posting Komentar