Kita hidup di zaman globalisasi. Zaman di mana luas dunia kehidupan kita, tidak lagi sebatas luas negeri kita. Melainkan telah mengglobal, mendunia, meluas seluas bumi ini. Tak ada lagi jarak. Tak ada lagi batas. Kita dapat berkomunikasi dan berinteraksi dengan negara mana pun, dengan sangat mudah dan cepat. Dengan kecanggihan teknologi informasi, kita dapat mengakses apa saja di luar sana. Apa yang mereka kerjakan, lakukan, aktivitas dan kebiasaan hidup mereka, dapat kita ketahui, kita pelajari. Semuanya serba terbuka. Dan karena serba terbuka itu maka segala dari luar sana dapat masuk sembarangan, dan kita bebas mengkonsumsinya: gaya hidup, cara pikir, dan tata nilai.
Dengan zaman seperti itu, kita barangkali pun berpikir, sebagai negara berkembang, kita dapat mudah dan cepat meninggalkan keterbelakangan kita, karena kita bisa mencontoh negara-negara maju. Ya, dalam bayang kita, kita akan menjadi negara maju seperti Barat. Hidup kita sejahtera, tidak lagi bodoh dan miskin. Kita tidak akan lagi menjadi negara berkembang, melainkan negara maju, sama seperti negara-negara Barat. Artinya kehidupan kita akan jauh lebih baik. Oleh karena itu, biarkan saja zaman globalisasi ini berjalan semestinya. Biar waktu mengubah kita sendirinya. Kita sambut zaman ini dengan suka cita, dengan tangan terbuka. Dengan senang hati, gembira, penuh semangat. Juga tanpa kritik, tanpa adanya kewaspadaan.
Terjadilah akhirnya seperti sekarang: kita terbaratkan. Globalisasi rupanya tak jauh beda dengan westernisasi. Kita seperti tertipu. Wajah negeri kita tampaknya saja maju, tapi mental kita tetap terbelakang. Betapa tidak. Dikatakan maju itu karena dapat berdiri sendiri. Tidak tergantung pada yang lain. Tahu masa depan yang hendak dituju. Intinya punya kepribadian dan dapat menghadapi tantangan zaman. Namun apa yang kita lihat pada negeri ini. Kita hanya jadi peniru. Peniru bagi negara-negara yang mendominasi. Yang maju-maju itu.
Jati diri kita lenyap, tidak hanya sebagai warga sebagai rakyat, tapi lebih daripada itu, sebagai individu. Yang lebih memalukan lagi, kita bangga dengan hal itu. Kita bangga karena kita bisa menjadi seperti mereka. Sebaliknya, kita malu jika kita berseberangan dengan cara hidup mereka. Memilih hidup sendiri. Yang terjadi kemudian, segala yang datang dari mereka diterima tanpa kritik. Apa yang dipandang mereka benar, benarlah. Yang dipandang jelek, jeleklah. Mereka selalu benar. Gaya hidup, cara berpikir, serta cara mereka menilai sesuatu, selalu dianggap benar. Dan kita tidak berani mengkritik. Sebab, mengkritik sama dengan menolak kemajuan. Jadinya kita tidak berani untuk menyatakan diri bahwa kita memiliki gaya hidup sendiri, pola pikir sendiri, tata nilai sendiri yang bila kita akui dari lubuk hati paling dalam, hal yang kita yakini itu amat mulia, lebih bernilai dan berharga.
Yang salah bukan zamannya, tapi sikap kita menghadapi zaman ini. Kita rasanya terlalu berpikir pendek. Sebenarnya—dari zaman globalisasi ini—yang kita inginkan mengambil yang baiknya saja. Namun sayangnya, justru kita mengambil semuanya. Mengapa ini bisa terjadi? Karena kita tidak mempunyai sistem nilai. Atau, kita dulunya punya namun dengan alasan objektivitas dan juga disebabkan rasa ketersilauan berlebihan dengan Barat, kita rela meninggalkannya. Sehingga ketika tata nilai itu telah ditinggalkan, maka untuk menilai sesuatu apakah itu baik buruk, benar salah, indah atau buruk di hadapan kita, kita tidak punya.
Akal? Tidak. Akal tidak cukup. Akal itu tidak obyektif, tapi terbatas. Dipengaruhi oleh pandangan hidup pemakainya. Pandangan hidup itu dibangun oleh kultur, budaya dan juga agama. Sementara peradaban Barat modern itu dibangun dari hubungan yang tidak harmonis dengan agama. Bangkitnya peradaban Barat modern diawali dengan kirik terhadap agama, dan puncak peradabannya adalah dengan meninggalkan peran agama dari tata nilai kehidupan mereka. Jadi rasio Barat adalah rasionalitas non agamis, rasio yang sekuler. Untuk menilai sesuatu, agama tidak akan dijadikan landasan. Landasannya adalah yang bisa diindera manusia. Bersifat empirik. Yang empirik melahirkan gaya hidup materialis. Sehingga, semuanya diukur dengan materi. Kebenaran, kebaikan, dan keindahan akan diukur dengan materi. Jangan bicara soal agama di Barat. Trauma sejarah membuat mereka alergi terhadap agama. Prancis misalnya, yang katanya negara pengusung kebebasan, justru tidak bebas jika orang Islam memakai jilbab. Seharusnya jika mereka benar-benar memegang prinsip kebebasan, maka itu tak jadi soal. Masalahnya, agama bagi mereka adalah sesuatu yang memasung kebebasan. Dari mana pola pikir seperti ini? Dari pandangan hidup mereka, yang terbangun dari sejarah kultur, budaya, dan hubungan mereka dengan agama mereka.
Jadi salah salah satu ciri khas Barat adalah jauhnya kehidupan mereka dari agama. Jika seseorang hidup mengikuti gaya hidup dan berpikir ala Barat, lalu alergi dengan simbol-simbol keagamaan, jangan heran. Jika bertemu orang yang cara hidupnya meniru peradaban Barat lalu alergi dengan suara azan, atau malu memakai sarung, peci, mendengar kalimat-kalimat thayyibah: subhanallah, alhamdulillah, astagfirlah, allah akbar dan sebagainya, jangan heran. Tidak cuma itu, jika bertemu seorang pelajar atau mahasiswa yang sudah mulai alergi dengan hasil pemikiran umat Islam klasik dan lebih bangga dengan pemikiran Barat, jangan heran. Akan tetapi, ketahuilah, cara mereka belajar dari peradaban Barat masih seperti anak kecil yang bisanya hanya meniru. Tidak berani berpikir dan bertindak kritis. Meski mereka belajar cara berpikir kritis dari Barat, tapi kalau mentalnya masih seperti anak kecil, tidak ada gunanya. Mereka tidak akan berani mengkritik Barat. Ataupun kalau mengkritik, hanya sedikit, terlalu halus seakan-akan tidak berani mengungkapkan kesalahan yang mereka rasakan.
Kenapa hal itu bisa terjadi? Karena, seperti yang sudah diungkapkan, saat meniru dan mencontoh Barat, mereka meninggalkan jati diri mereka sendiri—melepaskan nilai-nilai yang melekat pada diri mereka, misalnya agama atau nilai kultur mereka dengan alasan objektivitas atau rasa empati yang berlebihan karena terlalu terkagum-kagum dengan peradaban Barat—dengan jati diri Barat atau nilai-nilai Barat itu sendiri. Sehingga tidak ada lagi sistem nilai. Mereka pun tidak tahu menilai: mana yang harus diterima dan diambil, dan mana yang mesti ditolak atau diubah. Sudut pandang mereka sudut pandang Barat, maka segala yang dari Barat menjadi Benar.
Jadi masalahnya adalah menjaga nilai. Jika seseorang masih memegang nilai yang dipeluk dan diyakininya, maka ia tidak akan terpengaruh sembarangan nilai dari luar. Atau bisa jadi sebaliknya, memberi perubahan nilai pada yang lain. Sementara itu, nilai itu tidak dapat dilepaskan dari simbol yang membungkusnya. Simbol itu penting, sama pentingnya dengan nilai yang dikandungnya. Simbol itu dengan nilainya tak bisa dipisah. Menyatu. Agama hidup karena simbol-simbol itu. Jika simbol ditinggalkan, nilai bisa jadi juga bisa menghilang. Kalau seseorang telah alergi terhadap simbol keagamaan, maka ia akan jauh dari agama. Kalau ia jauh dari agama, maka ia akan jauh juga dari Tuhan. Kalau sudah jauh dari Tuhan... ia hidup untuk/dengan siapa?
hitung waris
1 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar