Reduksi


Yang nampak adalah realitas. Itu jika kita belajar fenomenologi; ilmu yang berusaha menyingkap hakikat fenomena yang hadir dalam kesadaran kita. Sebagaimana dalam arti harfiahnya, phainestai yang berarti “menunjukkan” dan “menampakkan diri sendiri”. Apa yang dimaksud dengan fenomena adalah realitas itu sendiri. Jadi fenomena yang tampak adalah segala macam realitas; bisa berupa realitas alam, sosial, kejiwaan dan lain-lain. Yang menarik dari kajian fenomenologi adalah, ilmu ini memiliki prinsip, semacam jargon: zuruck zu den sachen selbt (kembalilah pada realitas itu sendiri).

Berawal dari ketidakpuasan terhadap dua corak epistemologi Barat yang bertumpu pada rasionalisme dan empirisme. Terutama, setelah kedua macam kecenderungan tersebut, dibedah oleh Kant yang kemudian berkesimpulan bahwa pengetahuan—baik yang disandarkan rasio atau indra—ternyata tidak akan mampu menjangkau realitas itu sendiri, karena, baik indra dan rasio itu memiliki batasan dan kategori-kategori dalam menangkap, menyaring dan mencerna realitas yang ada di luar dirinya. Sehingga realitas itu tidak akan tertangkap secara keseluruhan, melainkan hanya merupakan konstruksi rasio dan indra saja.

Lebih jelasnya, Kant menerangkan bahwa proses pengetahuan itu merupakan suatu proses sintesa antara apa yang disebut sebagai apriori dan aposteori. Yang pertama adalah aktivitas rasio, sedang yang kedua adalah aktivitas indrawi. Fungsi rasio adalah membangun, membentuk dan menkonstruksi pengetahuan, sementara fungsi indrawi adalah mencerap pengalaman obyek. Keduanya memiliki kategori, kriteria dan batasan-batasan tertentu. Sehingga, karena adanya hal itu, maka realitas tidak akan tampak sebagaimana adanya, melainkan hanya berupa hasil dari saringan indrawi dan konstruksi rasio saja. Jadi, karena adanya proses penyaringan dalam aktivitas rasio dan indra, maka pengetahuan manusia tidak akan mencapai apa yang disebut noumena (yakni realitas itu sendiri). Apa yang dicapai hanya sebatas pada apa yang disebut fenomena (yakni realitas dalam kesadaran manusia) saja . Bagi Kant, manusia hanya dapat mengenal fenomena-fenomena saja, bukan noumena. Noumena tetap menjadi teka-teki, semacam “X” yang tetap misterius, tidak dapat dikenal, terselubung oleh kesadaran kita.

Apakah setelah itu kita akan putus harapan setelah apa yang kita ketahui tentang hal-hal di luar kita itu, nyatanya, bukan hal yang sebenarnya sebagai adanya? Tidak, barangkali begitu jawaban Husserl, seorang fenomenolog awal yang mengkaji masalah ini. Kita masih bisa mengetahui realitas sebagaimana adanya dengan fenomenologi. Masalah sebenarnya yang dialami epistemologi Barat adalah, terletak pada aktivitas rasio yang lebih mendominasi pengetahuan manusia, sehingga realitas itu tidak tampak sebagaimana adanya. Jika hal itu dapat diatasi maka kendala dari pengetahuan tentang realitas selesai.

Adapun langkah awal adalah dengan apa yang disebut dengan apoche yang secara harfiahnya bermakna “menunda putusan” atau “mengosongkan diri dari keyakinan tertentu”. Apoche juga berarti tanda kurung (breaketing). Artinya, dalam proses menangkap hakikat realita atau fenomena itu, dengan terlebih dahulu menunda dan memberi tanda kurung atas keterangan terhadap setiap keterangan yang diperoleh dari sesuatu fenomena yang tampil tanpa memberikan putusan benar salahnya. Jadi metode apoche itu menunda putusan dengan cara memberi tanda kurung pada persepsi, pikiran, asumsi dan seterusnya yang telah menafsirkan lebih dulu realitas tersebut.

Setelah itu, langkah selanjutnya, adalah apa yang disebut dengan “reduksi”, yakni menyaring fenomena untuk sampai kepada intinya (wesen). Hasil reduksi itu kemudian disebut wesenschau. Ada tiga tahap dalam aktivitas reduksi menurut Husserl: pertama, reduksi fenomenologis, yakni memberi tanda kurung terhadap anggapan-anggapan, baik itu yang bersumber dari pikiran-pikiran ilmiah atau kultural terhadap fenomena yang tampak itu. Kedua, reduksi editis, yakni setelah membersihkan praaggapan tentang fenomena yang ada selanjutnya adalah menemukan hakikat fenomena yang tersembunyi. Pada tahap ini, segala sesuatu yang dianggap sebagai fenomena yang diamati, harus disaring untuk kemudian dicari hakikat sesungguhnya dari fenomena itu. Ketiga, reduksi transendental, yaitu menyisihkan dan menyaring semua hubungan fenomena yang diamati dari fenomena lainnya. Yang ditandakurungi kali ini adalah yang tidak ada hubungannya dengan fenomena tersebut.

Tampaknya, proses penyaringan atau yang disebut reduksi itu menjanjikan: akan menyingkap yang tampak sebagaimana adanya. Namun benarkah? Bukankah proses reduksi itu melibatkan rasio? Saya pun jadi curiga, kita akan jatuh lagi ke dalam lubang hitam seperti yang dikatakan Kant. Reduksi adalah hasil kerja rasio yang menkonstruksi realitas. Yang tampak lagi-lagi bukan yang apa adanya, tapi yang disaring oleh rasio. Barangkali dengan reduksi kita bisa berhati-hati terhadap praanggapan atau asumsi luar, tapi bagaimana dengan asumsi pribadi yang tidak kita sadari?

0 komentar:

Posting Komentar