“m”/“M”

Pada launching buku puisinya kala itu, penyair—yang terkenal dengan sihir puisi cintanya—ditanya salah seorang penggemarnya. “Kini anda berubah. Saya salah satu pencinta puisi-puisi anda. Sejak awal, sajak-sajak cinta anda selalu menggetarkan hati saya. Tak ada, dari sekian puisi-puisi itu, yang membuat saya kecewa. Membayangkan, mengingat dan merasakan perasaan yang terangkum dalam sajak anda saya bisa menangis berjam-jam, tak enak makan berhari-hari, termenung dan tercenung seorang diri. Itu karena sajak anda. Sajak itu tidak hanya menyentuh, tapi juga, membius. Tapi, mengapa tiba-tiba anda mengubah kata “mu” huruf m kecil itu dengan huruf “Mu” huruf M besar? Mengapa tiba-tiba anda berubah? Akibatnya, kini, yang saya rasakan, sajak-sajak anda terkesan tidak romantis lagi. Ya, kini, anda menjadi religius. Saya tidak lagi bisa merasakan kehangatan puisi anda seperti dulu lagi”

Seperti dugaannya, pertanyaan itu bakal keluar dan akan ditanyakan. Tapi, ia sudah siap, lalu menjawab. “Saya tidak berubah. Cinta saya tetap seperti dulu. Saya tidak mengubah huruf “m” kecil dengan “M” besar: “m” yang kecil itu tetaplah “m” kecil, dan “M” yang besar itu adalah huruf yang lain. Hanya saja, kali ini, saya kenalkan kepada anda cinta saya yang lain, yang lebih besar dari sebelumnya. Barangkali, anda bertanya-tanya, mengapa “M” besar itu adalah yang paling besar? Mengapa harus ada “m” kecil dan “M” besar? Apa arti “m” kecil itu dengan “M” besar bagi saya? Apa hubungan keduanya? Bagi saya, “m” kecil merupakan salah satu bagian dari “M” besar. Tanpa “M” besar, “m” kecil tidak akan ada untuk saya. Cinta “m” kecil, adalah cinta “M” besar. Mencintai “m” kecil berarti mencinta “M” besar. Kehilangan “m” kecil, kehilangan bagian dari “M” besar. Hanya saja, bila harus memilih, saya akan memilih “M” besar, karena itulah cinta sejati saya. Cinta itu, adalah hidupmu. Jika kau menyukai seseorang dan tidak dapat hidup tanpa dia, itulah cinta. Dapatkah kita hidup tanpa Yang Maha Besar?

0 komentar:

Posting Komentar