Kami sepakat pada liburan sekolah anak-anak akhir bulan ini, kami sekeluarga akan pergi mengunjungi rumah bapak di kampung. Memang setiap lebaran tiba, kami mudik ke kampung dan tinggal seminggu di sana. Tapi pada kunjungan kali ini, khusus, aku beserta istriku berencana membawa bapak ke luar kota untuk tinggal bersama kami di rumah. Ibu telah lama meninggal. Bapak seorang diri. Mengurus rumah, dan bekerja di tambak miliknya. Sudah beberapa kali aku sampaikan padanya untuk turut tinggal bersama kami sekeluarga di kota. Aku katakan padanya, bahwa di sana bapak tidak perlu bekerja lagi. Menikmati masa tuanya dengan tenang, damai, dan dapat leluasa bersenda gurau setiap hari bersama cucu-cucunya. Kalau bapak tidak suka berdiam diri, di rumah sudah tersedia sepetak pekarangan, yang bapak dapat urus untuk menghilangkan kejenuhan. Tapi beliau tidak mau. Ketika aku bertanya, beliau hanya menjawab bahwa beliau sudah bahagia tinggal di kampung. Jawaban itu saja yang selalu disampaikannya padaku, dengan menampakkan keadaannya yang sehat dan selalu bersemangat. Dan aku beserta istriku tidak dapat berbuat apa-apa, karena memang, setiap kami kunjungi bapak di kampung halamannya, beliau selalu tampak sehat dan cerah. Sehingga dalam pikiran kami, bapak memang benar-benar senang dengan keadaannya tinggal di kampung, dan tidak kekurangan sesuatu pun.
Namun, seminggu yang lalu, sepucuk surat dari kampung datang kepadaku. Surat itu dari Parto, pembantu bapak yang aku pekerjakan untuk membantu bapak mengurusi rumah. Aku memang sudah berpesan pada Parto untuk mengirimi surat apabila ada apa-apa dengan bapak. Dalam suratnya itu Parto mengabarkan bahwa bapak sedang sakit dan masih terbaring di atas ranjang tidurnya.
“Tuan” tulis Parto dalam suratnya “maaf, tuan muda. Sebagaimana amanat yang tuan muda berikan pada saya, saya ingin menyampaikan bahwa tuan besar sedang sakit. Sudah tiga hari beliau terbaring di atas kasur. Saya memang tidak pandai mengurus orang sakit, tuan muda. Jadi untuk mengurus tuan tuan besar yang sedang sakit, saya panggil istri saya untuk membantu mengurus beliau. Saya sudah antar tuan besar ke rumah sakit, dan dari pihak rumah sakit bilang kalau tuan besar kelelahan, dan harus banyak-banyak beristirahat. Sudah, tuhan muda, saya kira cukup sampai di sini surat saya. Kiranya tuan muda bersedia memaafkan saya apabila dari kata-kata saya ada yang salah atau kurang sopan. Terima kasih.”
Kubalas surat itu dengan ucapan terima kasih banyak pada Parto yang telah menjalankan tugasnya dengan baik, bahkan lebih baik dari yang aku tugaskan. Juga mengirimkan salam ucapan terima kasih pada istrinya, yang bersedia ikut menjaga bapak. Kemudian aku sampaikan pesan, bahwa pada akhir bulan ini, seminggu depan, aku beserta keluarga akan mengunjungi bapak. Liburan anak-anak, Par, tulis aku dalam surat itu, dan tidak menyinggung-nyinggung soal rencanaku untuk mengajak bapak tinggal di rumah bersamaku. Selanjutnya, aku juga sertakan dalam amplop surat itu, sebuah surat yang aku khususkan sendiri untuk bapak, isinya mengabari hari aku bersama keluarga untuk berlibur ke sana.
Waktu telah tiba. Semuanya telah siap matang sesuai dengan yang kami rencanakan. Barang-barang, mulai dari makanan, pakaian, kebutuhan anak-anak telah masuk ke dalam mobil kami. Begitu juga obat-obatan dan vitamin yang kami siapkan untuk bapak. Malam harinya, sebelum berangkat, kami memakai beragam strategi untuk merayu bapak. Juga kepada anak-anak kami yang telah mengerti, aku ajak mereka untuk membantu. Ternyata mereka semua antusias dan mau. Tampak dari semangat dalam diri mereka itu, isyarat bahwa mereka sangat senang sekali kakek yang mereka sayangi, tinggal bersama. Bahkan Ita, bungsu putri kami yang akan duduk di bangku Sekolah Dasar, melonjak-lonjak karena tahu kakeknya, yang sering menggendongnya di kampung, yang sering membelikan apa saja yang dia minta, oleh kakak-kakaknya dikatakan mau tinggal bersama di rumah. Betapa senang hatinya itu.
Sore hari kami berangkat. Keesokan paginya kami tiba di tujuan. Saat menikung ke jalan yang menuju kampung halaman, tampak kulihat di kiri kanan jalan berderet pohon kelapa rapi begitu indahnya. Sesekali datang angin keras berhembus, menggoyang-goyangkan tubuh mereka yang tinggi-tinggi itu. Terdengar suara kemeresk dari daun-daun janur yang beradu, berpilin-pilin karena terpaan angin kencang dan keras itu. Aku masih ingat. Semua pohon-pohon itu, adalah bapak yang menanamnya. Sewaktu kecil aku pernah diajaknya menanam pohon kelapa. Kutanyakan kapan pohon yang kami tanam itu berbuah. Bapak tertawa, mengacak-acak rambutku sambil berkata: “Nanti, Sam, kalau kau sudah berkeluarga”
“Haaah?” Seruku dengan mulut yang menganga, terperangah mendengar jawaban bapak “Lama sekali, pak?”
“Memang begitu, Sam. Tanah ini tanah pesisir, dan tanaman yang paling cocok untuk ditanam di sini adalah kelapa” Kata bapak sambil menggaruki tanah lalu mengambil bibit kelapa yang kupegang untuk dimasukkan ke dalam tanan itu. “Sudah, Sam. Jangan terlalu dipikirkan hasilnya” Kata bapak yang menatapku termangu-mangu, “yang penting kita menanam pohon ini, dan kita tahu pohon ini banyak manfaatnya. Kau tahu apa manfaatnya pohon yang kita tanam ini selain bisa diambil buahnya?”
Aku menggeleng. Kemudian bapak berkata lagi “Pohon ini akan memberi kesejukan bagi siapa yang datang ke kampung kita. Juga yang paling tampak adalah, orang-orang kampung yang bekerja di tambak nanti tidak akan kepanasan. Dapat beristirahat di bawah pohon kelapa ini. Kalau mereka kehausan, mereka dapat memetiknya. Juga kau nanti, Nak, kalau bekerja di tambak seperti mereka”
Setelah bantu bapak menumpuk tanah menutupi bibit kepala, bapak berkata. Masih seperti tadi, hendak memberikan wejangan padaku, pada anak satu-satunya, namun kali ini lebih serius. Ditatapnya mataku dengan tajam dan beliau pun berkata “Nak, anakku, Sam. Ingatlah, Nak. Suatu saat nanti orang-orang akan malas menanam pohon. Juga mungkin kau, Nak. Pekerjaan ini adalah pekerjaan orang tani. Sementara orang-orang tani, bagi mereka, adalah pekerjaan yang merendahkan diri. Orang-orang lebih suka bekerja di dalam gedung daripada di luar, apalagi pekerjaan yang membuat tangan mereka kotor. Jangan, Nak, kau jangan sampai berpikiran seperti itu. Kau jangan sampai menganggap tanah ini kotor. Kau, ibumu dan juga aku, hidup dari tanah ini. Pesanku, Nak, hormatilah mereka yang memberimu hidup. Hormatilah tanah ini dan segala isinya yang memberimu kehidupan. Ketika kau menghadap Gusti Allah, dalam sholat, kau disuruh bersujud dua kali, Nak. Pada tanah, pada tanah, kau suruh sentuhkan keningmu itu. Dan jangan kau anggap pekerjaan menanam pohon ini, pekerjaan yang remeh temeh, Nak. Jangan. Menanam adalah bersedekah. Satu pohon kau tanam, kau telah bersedekah. Kau tentu sudah tahu, kalau daun-daun itu membersihkan udara kotor. Nah, anakku, Sam, dengarlah, setiap udara bersih yang keluar dari daun-daun itu, Nak, adalah berpahala. Sebab udara itu akan terhirup oleh manusia dan hewan-hewan. Kau telah bersedekah udara bersih, kesehatan pada mereka. Juga buah kelapa yang dimakan, dan daun-daunnya yang dijadikan sarang oleh burung-burung itu, Nak. Itu juga berpahala. Jadi, anakku, Sam, kau harus bangga dengan pekerjaan ini. Tapi kalau tidak suka, Nak, paling tidak, jangan kau menghina mereka, menganggap rendah mereka yang bekerja menanam pohon”
Mobil yang kami tumpangi telah berhenti depan rumah bapak. Tampak Parto keluar menuju kami. Mengangkuti barang-barang bawaan kami dalam rumah. Anak-anak berhamburan ke luar mobil. Kutanyakan Parto, apa bapak ada di dalam rumah. Parto bilang, bapak masih terbaring dalam kamar.
“Bapak belum juga sembuh, Par?”
“Betul, tuan muda. Sudah hampir dua minggu”
Kupandangi istriku. Ia balas memandang, ikut prihatin, dan meyakinkanku bahwa aku jangan terlalu kuatir. Anak telah menungguku depan pintu. Menunggu ayah ibunya untuk lebih dahulu masuk rumah. Aku memberi salam. Terdengar dari dalam suara menyahut, membalas salamku. Suara bapak “Ah, kau, Sam. Sudah sampai kau, Nak. Ayoh, Nak, masuklah ke dalam. Mana istrimu, juga cucu-cucuku. Masuklah semua ke mari”
Aku dan istriku masuk, bersalaman. Kemudian kusuruh anak-anak yang masih di luar, masuk.
“Oh, cucu-cucuku yang cakep-cakep. Sini, Nak. Mengapa masih di luar? Masuklah. Kakek sudah rindu pada kalian” Semuanya masuk. Berhamburan anak-anak berebut tangan kakeknya untuk bersalaman. “Oh, ini siapa cucuk kakek yang imut ini?”
“Ita, Kek” Jawab serentak anak-anak. Kemudian bapak memanggil Parto untuk memetikkan pohon kelapa di halaman. Kepada anak-anak aku memberi isyarat untuk bermain di luar. Merekapun ke luar, menyambut Parto yang sedang memanjat pohon kelapa untuk mereka. Istriku juga kusuruh ke luar menemani anak-anak.
“Bapak” Kataku mengawali pembicaraan “Mengapa sampai bisa begini?”
Bapak mengangkat tubuhnya. Kubantu beliau meninggikan bantalnya. Dan beliaupun berusaha untuk bangun, duduk bersandar pada bantal itu. Berkatalah beliau padaku kemudian “Ah, Nak. Bapak menanam pohon bakau di tepi laut. Mungkin kecapean. Jadinya ya begilah, Nak. Ini mungkin peringatan buat bapak, Nak, bahwa bapak sudah tua. Tubuh bapak tidak sekuat dulu. Bapak harus kurangi kerja”
“Mengapa bapak menanam pohon bakau segala? Tidakkah mengurusi tambak sudah cukup? Juga cukup melelahkan?” Kataku dengan nada protes, tidak setuju dengan apa yang dilakukan bapak. Menangkap nada suaraku, bapak tak senang, kecewa seperinya beliau dengan kata-kataku. Aku dapat melihat dari raut wajahnya ketika aku bicara.
“Rupanya kau sudah lupa pesanku, Nak” Katanya sembari mendesah. “Rupanya kau sudah lupa apa yang kuamanatkan padamu” Katanya mengulangi dengan intonasi yang menyakitkan hatiku, seakan-akan aku telah menyakiti hatinya. “Jangan kau hina mereka yang menanam pepohonan. Mereka memberimu kehidupan yang baik, Nak” Katanya tanpa memandangku.
“Bapak, bukan maksud saya begitu. Saya hanya menghawatirkan kesehatan bapak. Saya tidak ingin bapak jatuh sakit. Itu saja, bapak. Mohon bapak mengerti apa yang saya kuatirkan. Dan saya, anak bapak satu-satunya ini mohon maaf, apabila dalam kata-kata saya ada yang menyinggung hati bapak. Saya minta maaf” Mendengar kata-kataku yang tidak bermaksud untuk menyakiti hatinya, raut wajah bapak kemudian kembali berubah cerah. Kemudian dia memandangku dengan ramah.
Selanjutnya, berlanjutlah pembicaraan kami kepada kehidupan keseharianku dan keluargaku di rumah. Kukatakan padanya, bahwa aku masih tetap mengajar kuliah sebagai dosen. Istriku juga sama. Suryo, anak sulung kami, tahun ini akan melanjutkan kuliahnya. Dan si Ita, anak kami yang bungu, baru akan masuk Sekolah Dasar. Kusampaikan juga pada bapak, bahwa cucunya yang terkhir ini, memperoleh peringkat tertinggi pada sekolah sebelumnya. Bapak terlihat bangga mendengar hal itu. Untuk sementara, aku tidak menyinggung-nyinggung soal rencanaku mengajak bapak pindah ke rumahku. Tapi sedikit-sedikit aku sudah memancing beliau dangan mengatakan, bahwa di rumah ada pekarangan yang tidak diurus. Kukatakan aku terlalu sibuk mengajar, juga istriku. Sementara cucunya semuanya tidak ada yang suka merawat tanaman, mereka lebih banyak beraktivitas di sekolah, bersama kawan-kawannya. Kukatakan, seandainya bapak serumah dengan kami, tentu kebiasaan menanam pohon dapat ditularkan kepada cucu-cucunya. Juga pekarangan rumah yang tak terawat itu, dapat menjadi tanaman yang indah andai bapak ada di rumah kami.
Sudah hampir dua minngu liburan kami. Strategi rayuan halus tak langsung mengajak bapak untuk tinggal bersama kami itu, belum juga ada yang membuahkan hasil. Tidak ada tanda-tanda minat dari raut wajah beliau. Apalagi kata-kata yang keluar dari bibir beliau, yang menunjukkan ketertarikan untuk tinggal bersama di rumah kami.
Bapak sudah sehat. Kembali bekerja di tambak dan menanam pohon bakau. Tetapi karena telah sadar akan usiannya, beliau kurangi pekerjaannya. Kalau tidak menemani anak-anak berlibur entah minta pergi ke mana, aku menemani bapak mengurus tambak dan menanam pohon bakau. Dan dua hari sebelum kami pulang, sehari sebelum kami merencanakan berbicara bersama-sama sekeluarga mengajak bapak untuk tinggal bersama kami, setelah selesai menanam pohon bakau. Di bawah pohon kelapa, bapak berkata “Anakku, Sam. Aku tahu apa yang hendak kau rencanakan, Nak” Kata bapak. Aku terkejut, tapi kusembunyikan perasaanku itu. “Aku tahu apa yang kau rencanakan. Setiap hari kau, istrimu, juga anak-anakmu menyinggung-nyinggung aku untuk ikut bersamamu. Kau bercerita tentang rumahmu dan pekarangan itu. Ya, Nak, aku tahu maksudmu. Kau berencana untuk mengajakku tinggal bersamamu, kan, Nak? Aku tahu itu, Nak, karena aku bapakmu. Aku tahu perangaimu semenjak dari kecil. Benar itu, Nak?”
Rencanaku telah terbongkar. Tak ada yang harus ditutup-tutupi lagi. Maka aku mengaku. Ternyata bapak tidak marah padaku. Kemudian kembali beliau berkata:
“Dari radio aku tahu, Nak. Dari radio aku tahu, bahwa bumi kita ini sedang sekarat. Kata berita yang kudengar, bumi kita sedang mengalami apa yang namanya bapak kurang tahu, tapi arti bahasa Indonesianya bapak ingat: Pemanasan Global” Kusampaikan istilah dalam bahasa inggris yang dimaksud “Nah, ya, benar, Nak, Global Worming namanya. Lapisan Ozon yang melindungi bumi telah retak, bahkan ada yang bilang, telah berlobang. Lobangnya pun kian hari kian bertambah sehingga panas matahari tak dapat disaring oleh lapisan itu. Sehingga, panas matahari akan semakin menyengat dan kalau ini sampai berlanjut, Nak, kulit kita akan terpanggang hanya sebentar tersentuh cahaya panas matahari. Bapak ngeri membayangkan hal itu, Nak. Dan, kata yang di radio itu bilang, di antara cara yang terbaik untuk menanggulangi masalah itu, adalah dengan menanam pohon. Bapak lupa istilah bahasa inggrisnya, tapi bahasa Indonesianya bapak ingat: Penghijauan Tanaman” Kusambung kata-katanya dengan menyampaikan istilah bahasa Inggrisnya “Nah, ya, Nak, benar, kau, Green Tree namanya. Dan inilah, Nak, yang bisa bapak lakukan. Menanam pohon bakau! Hanya tumbuhan inilah yang paling cocok dengan tanah ini. Juga daun-daunnya lebih lebat ketimbang pohon kelapa, baik untuk udara. Juga baru kutahu, Nak, bahwa pohon bakau ini banyak manfaatnya: sebagai tempat bersarangnya ikan-ikan dan burung-burung. Menjaga pesisir dari badai angin, hujan, ombak. Kutahu semua itu setelah bapak datangi kantor desa. Datangi kantor badan lingkungan hidup. Mereka senang dengan niat baik bapak, dan diberilah bapak benih-benih pohon ini. Kau lihat, Nak, dari arah sana itu. Semuanya itu bapak yang menanamnya. Setiap hari bapak luangkan waktu untuk menanam dan merawat pohon-pohon itu. Bertahun-tahun sudah. Dan bapak tidak menceritakannya padamu setiap kali kau ke mari. Kini kau harus tahu, Nak. Ya, kau harus tahu karena apa yang bapak ceritakan ini padamu adalah jawaban bapak dari apa yang kau rencanakan. Ya, Nak, pulanglah. Bapak senang berada di sini. Ingatkah kau dengan apa yang bapak selalu pesankan padamu? Hormati bumi, Nak. Karena dia telah memberimu hidup. Jangan kau hina mereka yang menanam pohon. Kalau kau menghina mereka, berarti kau juga menghina bapak. Ingat, Nak.”
Malam harinya kuceritakan pada istriku. Ia tersentuh dengan jawaban yang disampaikan bapak. Maka pada pagi harinya, sehari sebelum kami balik pulang. Kami: aku, istriku, dan anak-anak kuajak menemani bapak menanam pohon bakau. Membawa bibit-bibitnya dari pekarangan. Menggaruki lumpur berpasir di tepi laut, dan menancapinya dengan bibit pohon bakau itu. Anak-anakku senang sekali ikut membantu.
“Papa, kapan pohon ini akan berbuah?” kata Ita, anak bungsuku yang paling kecil.
“Pohon ini tidak ada buahnya, Sayang” jawabku.
“Kalau begitu, Papa, kenapa kita menanamnya?”
“Karena pohon ini banyak manfaatnya, Sayang. Ita suka pada ikan, pada burung?” Ia mengangguk “Nah, Nak, pohon ini akan menjadi tempat ikan-ikan dan burung-burung itu beristirahat dan mencari makan. Mereka senang ada pohon-pohon seperti ini, Nak. Dan mereka berterima kasih pada Ita karena membantu mereka” Kataku sambil mengacak-ngacak rambutnya.
***
Tiga bulan setelah kami pulang, mendadak Parto menghubungi kami lewat tilpon rumah sakit. Mengabarkan berita duka, yang sangat membuat hatiku tak tertahankan pedihnya. Ya, dalam tilpon itu, Parto memberi tahu bahwa bapak meninggal dunia.
hitung waris
1 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar