Ibu

Sore itu, kakak menjemputku. Aku sedang sekolah diniyah. Kelas dua aku pada waktu itu. Baru satu tahun belajar di pondok pesantren Nurul Hikamah. Serta-merta terdengar dari kantor kepesantrenan bagian informasi, suara speker memanggil-manggil namaku. Katanya aku ada tamu, ditunggu di depan kamar. Kepada pak Umar, ustadku yang sedang mengajar di kelas, aku minta izin. Beliau membolehkan, dan aku pun menuju kamarku. Benarkah ada tamu? Siapa? Bukankah baru seminggu aku dikirim? Masa dikirim lagi? Tanyaku bertimbulan di pikiran. Penasaran, aku berlari menuju kamarku cepat-cepat. Di depan pintu, sudah berdiri kak Sholihati, kakak perempuanku yang tertua. Wajahnya muram sekali. Pucat. Dan matanya tampak lebam, merah dan basah. Kusalami dia. Kak Sholihati langsung berkata, “Sam, cepat ganti pakaianmu. Kita ke rumah sakit”

“Ke rumah sakit? Memangnya ada apa, kak?”

“Ibu. Ibu, Sam!” kata kakak. Suaranya gemetar. Dan tiba-tiba pecah tangisnya. Kedua tangannya bergantian mengusap-usapkan air mata yang berjatuhan dari kedua matanya. “Di pasar,” kata kakak berusaha menahan tangisnya untuk bicara “ibu kecelakaan saat menyeberang jalan. Sebuah mobil menabrak ibu dari belakang. Sekarang, ibu di rumah sakit. Cepat, ganti pakaianmu. Bawa beberapa” Kata kakak sambil membelai rambutku. Sementara aku telah berada dalam dekapannya dan tersedu-sedu menangis.

“Ayo, Sam. Cukup menangisnya. Cepat, ganti pakaian sana” kata kak Sholihati dengan suara lembut padaku.
Kemudian aku pun ganti pakaian. Memasukkan beberapa baju dan celana ke dalam tas. Setelah itu, kakak mengambil tas itu lalu membawanya. Mataku tetap tak mau berhenti mengalirkan air mata, dan terus kuusap-usap di kedua pipiku. Hatiku sudah tak menentu. Baju dan celana yang kuambil dari lemari asal-asalan saja. Yang ada di dalam pikiranku hanya ibu, ibu dan ibu. Sebelum berangkat, kakak menyeka air mataku dengan tangannya. Katanya berpesan aku jangan menangis terus. Malu pada orang-orang. Aku harus tenang. Tapi aku tidak menghiraukan nasihatnya. Kesedihan telah menguasaiku. Kami pergi ke kantor pondok pesantren. Kakak yang memintakan izin, sebab aku dengan keadaan menangis, tak dapat berkata-kata lagi, kecuali membisu dengan aliran tangis yang mengalir di kedua pipiku. Dan mungkin, karena iba, pak kepala keamanan langsung mengizinkan aku ke rumah sakit. Ia menandatangani sendiri perizinan itu langsung tanpa harus menghadap kiai, yang dalam aturannya, memang harus meminta tanda tangan kiai.

Kami pun pergi ke luar pondok pesantren. Saat berjalan melewati kelasku, sekilas kulihat beberapa kawan memperhatikanku, terheran-heran mereka sepertinya melihat keadaanku. Juga para santri lain, ustad, yang kebetulan berpapasan di jalan. Mereka memperhatikanku dengan pandangan yang bertanya-tanya. Di depan gerbang, kepada keamanan, kakak memberikan kartu izinnya.

 Di perempatan jalan raya ujung jalan pondok pesantren, kami menunggu bus yang akan mengantarkan kami ke rumah sakit di kota kami.

“Sudah, Sam. Cukup kau menangis. Kalau kau menangis terus, kapan kau akan mendoakan ibu. Lebih baik kau tenang dan mendoakan ibu agar baik-baik saja” Kata kakakku.

Kucoba mengikuti pesan kakakku. Kucoba tenangkan hati, berdoa agar ibu baik-baik saja. Tapi hati tak mau diajak diam. Setelah tenang dan berdoa sejenak, tumpahlah lagi air mataku. Wajah ibu yang penuh kelembutan dan penuh kasih pada anaknya itu, terus terbayang-bayang di pelupuk mata; sesosok perempuan yang tegar dan gigih dalam membesarkan anak-anaknya. Bersungguh-sungguh dalam bekerja untuk menyekolahkan anak-anaknya. Dan aku, sebagai anak bungsu, adalah anak yang paling dekat dengannya selama ini. Terutama setelah kakak-kakakku semua berkeluarga.

Di dalam bus, kembali teringat aku cerita ibu tentang kelahiranku. Katanya, sudah lama ibu merindukan seorang anak laki-laki. Semua anaknya dari yang pertama sampai yang ketiga, adalah perempuan. Kepada ayah, sering diceritakannya keinginan mempunyai seorang anak laki-laki. Tapi semenjak kelahiran kakak perempuanku yang ketiga, ibu tidak mengandung lagi. Dua belas tahun lamanya. Beliau pun menghentikan keinginannya itu. Pasrah dengan ketentuan tuhan. Dan, katanya padaku pada suatu malam: “Nak, kemudian ibu masuk ke rumah sakit setelah seminggu kakakmu melahirkan. Kemudian, Nak, ibu terkejut ketika seorang suster bilang bahwa ibu akan melahirkan beberapa minggu lagi. Semua keluarga pada tercengang melihat ibu, Nak. Benar. Ibumu ini memang sudah tua dan gendut pula. Ibu tidak tahu kalau ibu mengandungmu”

Kemudian ibu bercerita lagi tentang bagaimana perasaannya bercampur senang, sedih dan berdebar-debar. Senang, karena ibu akan mempunyai anak lagi di mana semua anaknya telah berkeluarga dan ibu merasa kesepian di rumah. Sedih, karena selama dalam kandungan aku tidak pernah mendapatkan perhatian darinya, dan hanya beberapa hari saja. Dan berdebar-debar, karena ibu mengimpikan untuk dikaruniai seorang anak laki-laki! Selanjutnya, dengan tersenyum padaku dengan sambil mencubit kedua pipiku, ibu berkata:

“Nak, saat itu kau pun lahir. Oh, betapa senangnya ibu, Nak, dengan kelahiranmu. Gusti, Gusti, terima kasih. Syukur hamba dikaruniai si bocah kecil ini. Kelahiranmu itu, Nak, telah memekarkan kembang-kembang kehidupan ibu. Setelah kau lahir dengan selamat, ibu langsung mengadakan selamatan besar-besaran sekampung. Semoga kau menjadi anak yang sholih, ya, Nak” Katanya sembari menciumi pipiku berkali-kali. Saat itu aku masih duduk di bangku TK nol kecil, dan tidak mengerti apa yang dikatakan ibu. Yang kutahu, ibu menciumku berkali-kali, dan itu tandanya ibu sangat sayang sekali padaku. Ayah telah lama meninggal, yaitu setelah 5 tahun aku lahir.

Ibu adalah segalanya bagiku. Setiap pagi, setelah shalat subuh, ibu pergi ke pasar. Seorang diri ia membawa bahan-bahan makanan dari pasar ke rumah. Sering aku dibawakannya buah-buahan. Kalau tidak pisang, rambutan. Sebelum kakak menikah, biasanya ibu bersama kakak. Tapi semua kakakku ikut suaminya setelah menikah. Jadi, ibu sendirian ke pasar. Sementara ayah pergi ke sawah. Nah, setelah ayah meninggal, ibu tidak lagi ke pasar, ia harus menggantikan ayah bekerja di sawah. Tapi untuk sarapanku, ibu menyuruhku untuk berpagi-pagi ke sekolah. Sarapan pagi di sana. Dari sana berat badan ibu turun drastis. Kulitnya berubah. Dari yang gendut menjadi kurus. Dari yang kuning langsat menjadi kecokelatan. Tapi semangatnya tidak berubah. Keceriaannya padaku juga tidak berubah. Tidak ada yang berubah darinya, kecuali tubuhnya itu. Dan aku tetap amat sayang pada ibu. Bahkan semakin sayang.

Pernah suatu ketika kakak mengatakan pada ibu untuk tinggal bersamanya. Tapi ibu tidak setuju. Kepada kakakku ibu berkata “Sudah, Nak. Jangan kau hiraukan ibu. Kau sudah berkeluarga dan mempunyai anak pula. Kalau kau tinggal di sini, kasihan suamimu. Kau juga, bukankah telah menjadi guru? Masa kau akan tinggalkan pekerjaan semulia itu, Nak.”

Akhirnya, aku dan ibulah yang menempati rumah itu bertahun-tahun kemudian. Setiap seminggu sekali, kakak-kakakku yang ada di luar kota berkunjung ke rumah. Sering aku dibawakan oleh-oleh, buah-buahan dan kue. Di samping itu, aku dekat dengan Maryam, keponakanku perempuan yang jauh lebih tua dua minggu dariku. Ia adalah anak kak Sholihati, yang lahir dua minggu sebelum aku. Kami sering bermain di sawah bersama. Menemani ibu yang sedang bekerja. Maryam suka didongengi sebelum tidur, maka kalau Maryam menginap di rumah, ibu akan mendongengi kami cerita yang bermacam-macam, tentang Kanci Si Pencuri Timun, Katak Ingin Jadi Lembu, Malin Kundang, Tangkuban Perahu, dan lain-lain. Dan cerita yang aku sukai dari cerita ibu adalah dongeng tantang Kancil Si Pencuri Timun. Sebab, setiap usai cerita ibu akan berkata “Jadilah kalian seperti kancil, Nak. Jadilah orang cerdas seperti dia. Kancil tidak takut pada siapa pun. Sebuas apapun lawannya, ia selalu yakin bisa melawan. Kancil tak perlu senjata untuk melawan. Dia hanya menggunakan kecerdasannya, Nak. Dongeng ini berpesan, bahwa orang yang pinter yang cerdas yang banyak ilmunya akan mudah selamat dari mara bahaya apapun. Belajarlah yang tekun dan sungguh-sungguh agar pintar seperti Kancil”

Namun, tibalah masa itu. Ketika aku lulus dari sekolah dasar. Ibu menyarankan aku untuk mondok di pesantren. Aku tidak mau. Aku tidak mau meninggalkan ibu. Aku ingin terus bersama ibu, sekolah sambil membantunya bekerja.

“Tidak, bu.  Aku mau sekolah dekat sini saja. Nanti bisa bantu-bantu ibu bekerja dan mengurus rumah” kataku.

“Jangan, Nak. Kau harus pergi ke sekolah yang lebih baik. Tidakkah kau ingin jadi guru agama, pandai bahasa Arab dan inggris. Kata gurumu kau tidak pantas sekolah dekat sekolah sini itu. Nilaimu terlalu bagus, Nak. Ibu lebih senang anak ibu berhasil dalam pendidikannya.”

Ya. Begitulah ibu. Ia selalu menomor satukan pendidikan. Meski ibu tidak pernah sekolah, ia percaya bahwa hanya lewat pendidikanlah kehidupan seseorang dapat berubah. Yang ibu pegang adalah sabda nabi Muhammad “Siapa yang menginginkan kesuksesan di dunia maka wajib baginya menimba ilmu. Siapa yang menginginkan kehidupan di akhirat maka wajib atasnya menuntut ilmu. Dan bila menginginkan keduanya maka juga dengan ilmu”.

Bus yang kutumpangi masih berderak-derak. Sesekali berguncang hebat saat melewati sebuah jalan yang berlubang. Pikiranku masih terngiang-ngiang pada ibu. Lepas daripadanya aku tak bisa. Mataku basah dan berderai. Di dalam aku duduk menghadap ke luar kaca. Sesekali kulihat diriku pada kaca itu. Seperti aku melihat orang lain. Seorang anak yang buruk sekali. Pucat dan menakutkan. Kupandangi pula kakakku di sampingku lewat kaca itu. Tuhan, semoga ibu tidak apa-apa. Jagalah ibuku dengan baik, tuhan, sebagaimana beliau telah menjagaku dengan sangat baik mulai sejak aku masih kecil sampai sekarang. Tuhan, aku sayang pada ibuku dan janganlah kau ambil dia dariku.

Kudekap kak Sholihat. Ia memandangi wajahku dan tersenyum. Matanya sudah tidak basah lagi. Tapi tetap melembam. Diusap-usapnya rambutku seperti membelai rambut seorang bayi. Kakak pun berkata “Tidurlah, Sam. Perjalanan masih lama”

***
Sesampainya di rumah sakit. Kak Sholihati mengantarkan aku ke ruangan tempat ibu di rawat. Ruang ICU! Pekikku dalam hati. Aku berlari setelah kulihat Maryam duduk bersama yang lain depan ruangan itu.

Selang setengah jam, pintu terbuka. Seseorang berbaju putih dengan memakai masker keluar. Kak Sholihati langsung menyambutnya dan bertanya: “Bagaimana, Dok, keadaan ibu kami?” Kata kak Sholihati cemas.

Dokter itu membuka maskernya. Menarik nafas panjang-panjang. Wajahnya lesu dan berkata dengan sopan “Maaf, kami telah berusaha dengan sebaik mungkin. Ibu anda, sekali lagi kami minta maaf, tidak dapat kami selamatkan”

0 komentar:

Posting Komentar