Ingin kutanya Ben, kawan kerjaku, apakah dia merasakan hal sama setiap kali menerima kepingan vcd film yang kusewa dari perempuan penjaga rental pojok jalan itu. Atau, apakah ia memang sengaja menyuruhku menyewa film di rentalan itu supaya aku bisa bertemu perempuan itu, lalu bilang padanya bahwa penjaga rental pojok itu dijaga oleh seorang perempuan yang cantik? Kampret! Tapi apakah benar demikian? Alah, sudahlah. Tak perlu aku tahu soal hati orang, yang penting vcd film yang dipesan telah aku dapatkan. Soal perasaan Ben serta akal bulusnya, tak perlu kuhiraukan. Tapi mengenai perempuan itu, bagaimana? Ya aku akui dia memang cantik. Sebatas itu? Ya, apa lagi? Oke, oke, aku menyukainya. Hanya sebatas suka? Baiklah, aku tambah, aku sangat sangat mengagumi kecantikannya. Puas!
Untuk pertama kalinya ini, aku menyewa film di rentalan itu. Kalau tidak desakan kawanku itu, mungkin aku tidak akan menyewanya di sana. Berhubung tempat persewaan vcd yang biasa aku datangi kebetulan stok filmnya habis dipinjam, terpaksalah aku mengikuti sarannya, menyewa di tempat yang biasa Ben pinjam. Lebih jauh sih tempatnya, tapi tak mengapa, sudah terlanjur niat nyewa film baru, di manapun tempatnya, yang penting dapat dan bisa nonton bersama. Tapi coba lihat, wah, jantungku masih berdebar-debar hingga kini jika mengingat waktu itu, perempuan itu, si penjaga rental. Seorang perempuan bermata sipit dengan rambut tipis yang terurai mengilau, menyihir biji mata yang semula terfokus pada deretan gambar film baru. Namun itu baru mataku saja yang kena, lain halnya ketika dengan tidak sengaja aku menyentuh tangannya yang lembut dan halus saat menerima kepingan vcd film yang hendak kupinjam, langsung saja aku seperti tersengat listrik 7000 megawatt yang bisa membuat jantungku pecah dan menghanguskan rambutku. Untunglah di luar sana, si brengsek Ben kawanku itu berteriak menyuruhku untuk cepat selesai sehingga aku tidak lama terlena dalam ruang persewaan vcd itu. Si brengsek itu rupanya sudah tak bisa menahan lapar makan malam, sedang aku yang baru keluar dari dalam rentalan film itu, sebaliknya, seakan baru keluar dari restoran dengan kenyang gembira sebab si pelayan yang melayaniku seorang perempuan yang cantik.
Film yang kami tonton adalah film drama Korea. Dan aku terkejut ketika melihat pemeran utama ceweknya itu mirip sekali dengan penjaga rental itu. Persis! Di dekat Ben aku tak banyak komentar soal film itu. Aku takut keceplosan bicara, bisa diejeknya aku habis-habisan olehnya. Sebab kalau salah menilai tampang orang, bisa bahaya. Apalagi si Ben orangnya seenaknya kalau sudah bicara. Dulu, ketika aku katakan kalau Son Ye Jin, aktris yang main di film A Moment To Remember itu mirip Susi, kawan kelasku, langsung dia melabrakku kalau aku menyukai si Susi. Tentu saja urusannya tidak hanya sampai di kamar saja, tidak hanya berhenti sampai malam itu juga, tapi menyebar sampai ke seluruh teman-teman yang dikenalnya dan aku sendiri tak nyaman pada Susi yang sebenarnya sih tidak keberatan dengan isu itu, bahkan tampak senang mendengarnya. Untunglah aku dapat meredakan ledakan gosip dari Ben itu. Setiap aku katakan padanya untuk menjaga lidahnya, dia sih insaf. Tobat dan menyesali kesalahannya lalu minta maaf padaku. Tapi mungkin karena memang sudah sifatnya seperti itu, apa boleh buat, tetap saja penyakitnya kambuh. Dan aku, hanya bisa menelan ludah saja.
“Sam, kau sendiri yang balikin vcd-nya, ya? Aku dipanggil bos. Katanya, ada kerja lembur di kantor.”
“OK, Ben. Mau nyewa lagi, gak?”
“Terserah kaulah, Sam. Aku ngikut!”
Kali ini aku benar-benar telah siap, bahkan lebih siap dari perhitunganku sebelumnya. Baju yang kupakai dan parfum yang kusemprotkan, semuanya adalah yang terbaik. Sempat aku berpikir, ini sudah berlebihan, hanya mau mengembalikan vcd saja harus berdandan seperti ini. Tapi pikiranku kini tidak lagi kudengar, kusumbat mulutnya yang kritis tapi tidak romantis, yang cerdas tapi tak tangkas mengatasi persoalan. Kini aku hanya tersenyum-senyum di hadapan cermin, tersenyum sebagaimana gerak hatiku yang menyuruhku melakukan hal itu. Berulang kali pikiranku mengumpatku bahwa apa yang kulakukan itu adalah bodoh, gila, sinting dan lain-laIn. Tapi hatiku hanya senyam-senyum saja mendukungku seraya meyakinkanku bahwa sesuatu yang bodoh, gila adalah awal dari kreativitas. Dan entah mengapa, aku kali ini manggut-mangut saja menerima kata-kata bijaknya yang ganjil dan tidak masuk akal itu.
Aku telah sampai. Di depan pintu, lagi-lagi hatiku berdebar, denyutnya berdentang semakin keras. Seolah ada music rock and roll yang menyentak dalam jiwaku dan suara yang paling nyaring adalah suara dentam drumnya yang tak lain adalah suara jantungku sendiri. Krrak, pintu kubuka. Langsung aku mau pingsan. Musik dalam jiwaku langsung pada refnya dan semakin kencang dengan full bass dan treble. Nafasku berat, leherku seperti tercekik. Untunglah, dengan berpura-pura melihat-lihat nama-nama deretan film baru yang terpampang di dinding. Perlahan musik jiwaku melamban, denyut jantungku mengalir tenang ketika aku melihat di sekelilingku banyak orang sehingga aku merasa tidak canggung sebab tidak diperhatikan oleh si dia. Secara diam-diam mataku melirik pada wajahnya. Sesekali hatiku bersorak, merayakan keberhasilanku memandang wajahnya yang benar-benar “wah” itu. Sering kali aku kesal bila aku dihadangi oleh tubuh orang lain yang mau menyewa atau meminjam film. Tapi aku sadar, apa yang kulakukan itu adalah konsekuensi dari cara melihatku yang sembunyi-sembunyi. Ingin sekali aku datang menghampirinya lalu dengan berani sedikit gila dan liar, mengatakan bahwa aku tidak mau menyewa film, tapi aku mau menyewa orang yang menyewakan film padaku, menyewanya semalam saja untuk jalan-jalan. Tapi, dasar memang, aku orangnya pengecut yang hanya berani melakukan hal-hal yang berani dan menakjubkan dalam khayalan saja. Orang yang hanya bisa membayangkan hal-hal hebat tapi tak mampu berbuat.
Kupandang lagi wajah yang semerbak bunga sakura itu: lembut, manis dan halus. Lengkung di bawah dagunya membuatnya tampak lebih mempesona. Matanya yang sipit, adalah bunga pagi hari yang selalu segar, bersemangat dan seperti selalu bangun tidur. Pengunjung semakin berkurang, tinggal tiga orang saja yang ada di dalam dan mengantre ingin pinjam. Aku cepat mengambil kertas dan mencatat film apa yang ingin aku pinjam. Aneh, semuanya adalah film drama Korea dan lebih aneh lagi adalah bahwa aku kini tidak dapat membedakan rupa aktris cewek pada tiap pemain dalam tiap film yang kupinjam ini. Semua terlihat berwajah sama, padahal namanya jelas-jelas berbeda. Dan lagi-lagi semua wajah yang serupa itu menyerupai satu wajah, yaitu wajah si penjaga rental ini. Gila!
“Mas suka film drama Korea, ya?” katanya bertanya ketika melihat kode cd yang kupinjam semuanya semua sama, yaitu kode vcd film-film Korea. Dia menatapku.
“Tidak. Eh, iya, iya!” kataku kaget dengan kegugupanku sendiri ketika tanpa aku duga perempuan itu menyapaku “Maaf, mbak. Pikiran saya sedang eror” kataku grogi, jantung rasanya mau copot. Tapi untunglah aku mendapatkan alasan untuk menutupinya.
“Laki-laki kok sukanya drama, mas, bukannya action. Apalagi Korea, wah, percintaannya setimentil dan wishful thingking!”
“Wah, mbak ini, pengamat film ya? Saya sih hanya menikmati saja dan belum pernah berpikir seperti itu. Apalagi punya kesimpulan seperti itu.”
Dia tertawa. Tampak wajahnya memerah bak bara api yang ditiup-tiup dalam tungku. Mungkin dia malu karena merasa lebih tahu dan mendapat pujian dariku atau dia tahu kalau aku sedang bergurau padanya. Tapi itu tak begitu penting ketika yang aku lihat adalah wajahnya yang semakin manis saja. Dia bergegas ke dalam mencari vcd yang aku mau sewa. Dengan gerak reflek yang tak aku sadari, tanganku dengan serta merta langsung menyisir rambutku yang kalau-kalau telah kusut atau kurang rapi. Dalam hati aku telah mempersiapkan ekspresi yang telah aku latih kemarin malam dalam kamar, yaitu ekspresi senyum saat mengucapkan terima kasih. Mudah-mudahan apa yang aku ekspresikan itu dapat membekas di hatinya, paling tidak untuk malam ini saja. Syukur kalau dibawa mimpi dan lebih syukur lagi kalau dirindukan berhari hari dengan alasan senyumku adalah senyum yang paling manis di antara para penyewa yang pernah datang ke rentalnya. Ah, aku suka dengan bermain-main seperti ini.
Hujan turun dengan rintiknya yang menderas, serentak dan mengagetkan. Sial. Gagal. Jurus senyuman termanis yang aku pelajari semalaman tidak aku keluarkan. Kurang pas momennya. Sebab, senyum itu terlalu ceria dan meriah. Agak sedikit aneh jika dikeluarkan kala hujan turun. Terasa janggal bila aku harus tersenyum ceria seperti itu dengan keadaan cuaca yang kalem. Seperti mengada-ngada, dan terlihat over. Suasana hujan yang adem ayem, seharusnya disesuaikan dengan senyum yang adem ayem juga. Itulah seni tersenyum yang aku pelajari dari buku. Dan sialnya, aku tidak berlatih untuk itu!
Ups! Dia telah mendapatkannya.
“Ini film yang mas cari, sudah dapat” katanya sambil menyodorkan kepingan cd padaku “ Periksa dulu cd-nya sebelum dibawa ya. Sebab kami tidak menerima complain saat pengembalian.
“yap, sudah” kataku sambil mengembalikan cd-cdnya kepadanya untuk dicek dan dicatat untuk aku pinjam.
Setelah selesai, aku keluar dengan tampang yang adem ayem itu. Tapi hujan yang deras turunnya itu, kali ini disambut angin yang bertiup. Maka aku langsung kembali masuk ke dalam. Celanaku basah keciprat air hujan yang dihempas air. Perempuan penjaga rental itu tertawa melihatku kesal dengan apa yang menimpaku “di sini saja dulu, mas. Nunggu hujannya berhenti” katanya.
Kuturuti saja usulnya sambil tersenyum manis seperti apa yang telah kulatih pada diriku semalam, meskipun dalam jiwaku tak henti-hentinya pikiranku mulai mengejekku dengan mengatakan bahwa kini ucapannya benar dan kebodohanku terbukti tidak ada hasilnya. Sedangkan di lain tempat, hatiku tak henti-hentinya memandangiku dengan tatapan seorang pertapa yang dengan hanya menatapku dengan tatapan damai seperti itu, ia seolah hendak meyakinkanku bahwa ejekan orang lain kepada kreativitas seseorang adalah hal yang biasa, bahkan kalau dilihat dari sudut pandang yang kreatif juga, sebenarnya, ejekan itu merupakan support yang paling tinggi nilainya. Dan aku, entah mengapa lagi, menuruti kata hatiku itu yang ganjil dan tidak masuk akal. Kutilpon si brengsek Ben berkali-kali untuk menjemputku, tapi dasar orang itu. Tidak diangkat-angkatnya hpnya. Bangsat!
“Sudah tutup ya, mbak. Wah, saya jadi ga enak di sini terus. Tapi kalau pulang, saya kebasahan” kataku
“Santai saja, mas. Nunggu hujan reda”
Kulihat bakso berhenti di depan. Hatiku bersorak dan tanpa basa-basi kupesan dua porsi. Perutku sudah tidak tahan lagi menahan lapar. Kupanggil perempuan penjaga rental itu untuk makan bersama. “Temani saya makan, mbak” kataku.
Dia tampak malu tapi karena kupaksa dengan alasan telah memesannya, maka dia mau juga makan bersama. Di dalam rentalnya, kami makan bakso bersama. Lalu, dari sinilah kami sampai larut bicara, menunggu hujan yang telah reda tapi kami menganggapnya belum sepenuhnya reda. Di situlah aku mengenalkan diriku, tempat tinggalku dan pekerjaanku. Kuceritakan bahwa aku tinggal tidak jauh dari sini dan aku bekerja di toko computer. Darinya aku tahu kalau dia itu masih seorang pelajar mahasiswa yang hampir lulus. Lalu berlanjutlah percakapan kami pada hal-hal intim tentang kehidupan pribadi termasuk bagaimana hobi, sifat buruk kami yang menjengkelkan orang lain, hubungan kami dengan kawan-kawan kami sampai pada hal-hal yang kami paling sukai dan paling kami benci di dunia ini. Kukatakan bahwa yang paling aku suka adalah mandi di laut, sedang dia wisata kuliner. Dia paling takut cicak sementara aku kecoak. Tidak hanya sampai di situ, karena dia mahasiswa, secara tidak disadari akhirnya kami terbawa pada suatu diskusi tentang film. Dia lalu mengeluarkan sebuah pertanyaan, katanya, mengapa setiap nonton film action rasanya dua jam terasa satu jam sementara nonton film drama yang sama durasinya terasa tiga jam? Aku, yang memang settingan pikiranku adalah computer tak bisa menjawab pertanyaannya. Aku menyerah dan mengatakan bagaimana jawabannya. Dia menjawab, dengan mengatakan bahwa film drama terasa lambat karena yang ditekankan dalam film itu adalah kontemplasi penonton, bagaimana film tersebut mampu diserap dengan mendalam bukan dengan alat pikiran saja melainkan dengan perasaan. Sementara film action tidak, ia hanya mementingkan bagaimana menampilkan gerakan yang canggih, hebat dan memukau. Film action yang simple jalan ceritanya tapi aksinya memukau, telah cukup dibilang sukses. Sebaliknya, film drama yang tidak begitu banyak aksinya namun mendalam kontemplasinya maka bisa dikatakan film itu telah sukses.
“Orang yang habis nonton film Spiderman, sekeluarnya dia dari bioskop maka dia akan bergaya seperti spiderman. Ingin memanjat tebing dan meloncat-loncat dari gedung ke gedung. Itulah film action, mas. Menciptakan sensasi dan merangsang jasmani. Beda kalau drama, sifatnya kontemplatif. Jadi orang yang selesai nonton film drama, ini drama yang serius ya mas, akan mendorong orang untuk mengevaluasi diri, berkontemplasi tentang hidup” katanya.
Hujan di luar telah mereda, dan memang telah lama mereda tapi kami memutuskannya begitu sekarang, setelah malam bertambah larut. Lalu, sebelum menutup pintu rental vcd film ini, aku menoleh pada perempuan itu yang tak mau kusebut sebab, maaf, aku mau hanya aku saja yang berhak tahu namanya di sini.
“Oh ya. Mengenai mengapa saya suka film drama Korea padahal menurut mbak, filmnya menampilkan kisah cinta yang sentimentil. Saya hanya bisa bilang, kalau saya tidak nonton film drama seperti itu, tentu pertemuan kita yang seperti ini tidak akan terjadi, bukan?” kataku sambil tersenyum manis.
Dia tertawa, dan aku tak tahu apakah dia tertawa karena ucapanku ini dianggapnya gurauan semata ataukah karena kagum? Entahlah. Yang jelas yang bicara itu bukan berasal dari pikiranku, tetapi dari hatiku yang entah mengapa kali ini kupikir, ia benar-benar sinting!
hitung waris
1 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar