Tiap sesuatu pasti ada obatnya,
Dan obat dari dosa-dosa adalah taubat.[1]
Bulan Ramadhan adalah waktu yang tepat untuk kita bertaubat. Sebagaimana dikabarkan al-Qur’an, keistimewaan bulan ini adalah bahwa Allah terasa dekat sekali, sehingga, bila ada seorang hamba yang berdoa maka Allah akan menjawab doanya: “Dan bila hamba-hamba-Ku bertanya pada-Ku (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Kukabulkan permohonan orang yang berdoa bila ia berdoa pada-Ku.”[2]
Tujuan puasa adalah menuju kefitrahan diri kita. Kita pun berharap, nanti, kita akan seperti bayi yang baru lahir: suci, bersih dari dosa-dosa. Akan tetapi, mungkinkah kita akan menjadi suci jika kita tidak menyucikan diri? Dan satu-satunya menjadi suci adalah dengan cara bertaubat. Maka, bagi saya, taubat dalam bulan Ramadhan adalah hal yang amat penting. Sangat penting. Bukankah salah satu dari tujuan puasa adalah pengampunan dosa-dosa? Seperti yang disabdakan Nabi “Siapa yang berpuasa didasarkan atas keimanan dan karena Allah, maka Allah akan mengampuni dosa-dosa masa lalunya”
Setiap orang pasti memiliki salah dan dosa, entah disengaja atau karena kebodohannya. Hal ini sudah sesuai dengan karakter manusia di mana ia menjadi tempat salah dan lupa (yang juga mengakibatkannya berbuat kesalahan akibat kelupaannya). Karena setiap orang memiliki dosa, maka dari itu sepatutnya baginya untuk bersegera dan terus-menerus bertaubat. Tidak ada alasan lain untuk manusia tidak bertaubat. Apalagi tidak ada dosa yang tidak terampuni di sisi Allah, kecuali syirik.[3] Salah satu sifat Allah adalah al-Tawwab, Maha Penerima taubat.[4] Ini menunjukkan bahwa Allah senang dengan hamba-hamba-Nya yang bertaubat. Jadi tidak ada alasan apapun bagi seorang muslim untuk tidak bertaubat.
Taubat, secara bahasa, terambil dari akar kata taaba yang berarti kembali.[5] Artinya kembali setelah sebelumnya menyimpang dari tempatnya semula. Sementara secara istilah, taubat berarti kembali dari kemaksiatan.[6] Yang dimaksud dengan kembali di sini adalah kembali (taat) kepada Allah setelah sebelumnya melakukan kemaksiatan, yakni melanggar perintah dan larangan Allah. Jadi seseorang yang bertaubat itu sebelumnya pernah melanggar perintah dan larangan Allah sehingga ia berdosa, lalu ia sadar dari perbuatannya, dan hendak kembali kepada Allah. Nah, proses kembali kepada Allah itulah yang disebut sebagai taubat.
Tidak salah jika al-Raghib al-Ashfihani menerangkan bahwa taubat adalah salah satu cara terbaik seseorang meminta maaf. Menurutnya, terdapat tiga macam cara orang meminta maaf. Pertama, ia mengucapkan permohonan maaf lewat lisan saja. Kedua, meminta maaf lewat lisan dan juga melakukan kebaikan kepada yang bersangkutan sebagai tanda permohonan maafnya. Ketiga, tidak hanya minta maaf secara lisan, tidak juga berbuat kebaikan kepada yang bersangkutan, tapi juga berusaha menjaga dirinya agar tidak mengulangi kesalahannya. Nah, taubat itu masuk dalam kategori permohonan yang ketiga. Ia tidak sekedar di lidah, tapi mencakup seluruh aktivitas hati, pikir, ucap dan perbuatannya dalam mengharapkan maaf. Dan hal itu adalah cara paling tinggi dan mulia.[7]
Taubat juga bermakna ampunan.[8] Karena, orang yang bertaubat pasti memohon ampunan atas dosa-dosanya, dan Allah selalu memberi ampunan bagi mereka yang bermohon kepada-Nya. Dosa itu bagi orang yang ingin mendekat pada Tuhannya ibarat penghalang, dan mohon ampun atau beristighfar itu akan memakan dosa-dosa.[9] Singkatnya, taubat dapat diartikan sebagai upaya seseorang untuk kembali kepada Allah setelah sadar bahwa ia telah berbuat dosa maksiat kepada-Nya.
Secara teoritis, tidak sukar sebenarnya untuk bertaubat. Dalam kitab Sullam al-Taufiq dijelaskan bahwa ada empat syarat untuk menjalani taubat. Pertama, adanya penyesalan. Yakni bersedih hati atas apa yang telah diperbuat. Di samping juga membenci terhadap perbuatannya itu. Orang yang menyesal biasanya akan menyalahkan dirinya, mengakui kelemahannya. Teringat akan siksa Allah di akhirat. Ia juga berandai-andai seandainya hal itu tidak dilakukan tentulah ia tidak dalam keadaan seperti itu, jauh dari Allah.
Kedua, berketetapan hati dan berusaha sungguh-sungguh untuk menjaga diri tidak kembali berbuat maksiat. Seorang yang bertaubat harus memiliki komitmen dan memegang komitmennya secara sungguh-sungguh. Di antara syarat yang ada, syarat satu ini barangkali yang paling berat. Komitmen kita akan diuji, apalagi bila kemaksiatan yang kita lakukan itu didorong oleh hawa nafsu yang sangat kuat. Misalnya orang kecanduan minum-minuman yang memabukkan. Untuk orang seperti ini, komitmen tidak akan cukup. Diperlukan strategi bagaimana sekiranya ia disibukkan oleh hal lain sehingga lupa oleh minum-minuman itu.
Ketiga, beristighfar. Yakni berdoa mohon ampunan kepada Allah. Kesalahan yang telah lalu, setelah disesali, sepatutnya dimohonkan ampun. Perbuatan maksiat mendatangkan dosa, dan untuk menghapus dosa tersebut adalah dengan jalan memohon ampunan.
Keempat, mengganti hal-hal yang memang perlu dan wajib diganti. Jika ia berdosa karena meninggalkan kewajiban agama, maka ia harus wajib menggantinya, sesuai dengan ketentuan agama pula. Misalnya jika yang dilanggar adalah puasa Ramadhan maka ia harus menggantinya dan membayar denda sesuai ketentuan agama. Demikian juga bila hal itu menyangkut dosa kepada manusia, wajib untuk ditunaikan. Misalnya jika ia pernah mencuri, maka wajib untuk mengembalikan barang itu kepada pemiliknya. [10] Seandainya pemiliknya meninggal ia harus mengurus kepada ahli warisnya. Atau kalaupun tidak ada maka harta itu disedekahkan dengan harapan meminta keridhaan yang bersangkutan.[11]
Kalau kita menengok sejarah, orang yang pertama kali melakukan praktek taubat adalah nabi Adam dan siti Hawa. Dikisahkan dalam al-Qur’an bahwa keduanya dilarang mendekat pohon khuldi. Namun, karena bujukan setan, keduanya melanggar larangan tersebut. Mereka tidak hanya mendekat, bahkan memakan buah khuldi. Merasa bersalah dan menyesal, akhirnya mereka mohon ampun dan bertaubat kepada Allah. Allah pun menerima taubat mereka. Jadi, taubat merupakan salah satu karakter dari fitrah manusia. Taubat juga yang membedakan ia dengan Iblis. Iblis juga pernah melanggar perintah Allah, bedanya ia bukannya memohon ampun, malah semakin durhaka. Oleh karena itu, maka orang yang tidak pernah mau bertaubat perlu untuk ditanyakan kemanusiaannya.
Taubat dengan segera adalah hal yang paling baik. Allah menyukai orang-orang yang segera bertaubat dan sering bertaubat. Dan taubat di masa muda lebih disenangi-Nya. Ini sesuai dengan sabda Nabi: “Tidak ada yang paling disukai Allah kecuali seorang pemuda yang bertaubat, dan tidak ada yang paling dibenci Allah selain orang yang sudah tua usianya namun masih berbuat maksiat”[12]
____________________
1. Kalimat di atas adalah hadis Nabi yang penulis petik dari kitab hadis sekunder Jalaluddin al-Suyuti, Lubab al-Hadis, (Indonesia: Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah), h. 37. Untuk takhrij dan status hadisnya pada kitab primer dapat ditelusuri sendiri. Penulis belum bisa mentakhrij hadis dan mengetahui statusnya, keterbatasan referensi. Namun perlu untuk dicatat bahwa, sekalipun nanti tidak ditemukan bahwa itu hadis atau statusnya lemah, akan tetapi secara makna kata-kata di atas mengandung hikmah, tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Intinya, masih dapat dipakai untuk kebaikan.
2. Sesungguhnya, tidak hanya di bulan Ramadhan saja Allah dekat dengan hamba-hamba-Nya. Namun, karena ayat ini berada dalam konteks ayat-ayat yang berbicara tentang seputar bulan Ramadhan dan puasa baik sebelum dan sesudahnya ayat, maka konteks Ramadhan dengan ayat ini sangat dimungkinkan sekali. Oleh karenanya mengapa penulis beralasan salah satu istimewanya Ramadhan adalah pada waktu itu Allah terasa dekat sekali. QS. Al-Baqarah [2]: 185-186.
3. QS. Al-Zumar: 53, dan bandingkan dengan QS. al-Nisa’: 166.
4. QS. al-Taubah: 104
5. Ibn Manzur, Lisan Arab, jilid I (Kairo: Dar al-Ma’arif), h. 140.
6. Ibrahim, ddk. Mu’jam Alfadz al-Qur’an, (Kairo: tpp.), h. 199.
7. Al-Raghib al-Ashfihani, Mu’jam Mufradat Alfadz al-Qur’an, (Bairut: Dar al-Fikr), h. 72.
8. Ibn Manzur, Lisan Arab.
9. Jalaludin Suyuti, Lubab al-Hadis, h. 34
10. Abdullah bin Husain Ba’Alawi, Sullam al-Taufiq, (Surabaya: al-Hidayah), h. 85.
11. Abu Hamid al-Ghazali, Minhaj al-‘Abdin, (Surabaya: al-Hidayah), h. 11.
12. Jalaludin al-Suyuti, Lubab al-Hadis, h. 38
hitung waris
1 tahun yang lalu
1 komentar:
saya mau bertanya bagaimana caranya agar diri kita yang penuh dengan dosa maupun telah kotor akibat kesalahan yang ada didalam diri kita bisa kembali suci seperti sedia kala apa saja caranya ini buat orang yang akan bertobat tolong beritahu solusinya kepadaku.
Posting Komentar